By
Novitasari
Mustaqimatul Haliyah
“Bunda,
ceritakan pada Lili tentang malaikat,” pinta Lili manja dalam dekapan sang
bunda.
“Malaikat
itu baik, sayang,” kata Bundanya memulai cerita.
“Lalu?”
wajah Lili genit penuh tanda tanya.
“Malaikat
itu terbuat dari cahaya,” lanjut sang Bunda sembari tersenyum melihat anaknya
yang genit.
“Dari
cahaya, Bunda? Waaah, pasti terang sekali, ya?” ujar Lili mulai mengkhayal.
Biasa, anak-anak imajinasinya mulai berkembang dengan baik.
“Iya
sayang. Seperti lampu-lampu pada malam hari yang teraaamaaaat terang,” balas
sang Bunda menambah indah imajinasi yang dibayangkan oleh Lili.
“Bagus
sekali ya Bunda? Setelah itu, Bun? Apalagi?” Tanya Lili semakin antusias.
“Malaikat
itu selalu mengerjakan kebajikan, selalu menjalankan perintah Allah, tidak
pernah memberontak dan membantah Allah,” jelas Bundanya.
“Waaah,
malaikat yang keleeeen,” pendapatnya senang.
“Malaikat
itu sungguh sangat mulia, Sayang,” diskripsi Bundanya lagi.
Lili
semakin penasaran dengan kata-kata Ibundanya.
“Oww…begitu
ya Bunda? Bunda-Bunda! Bunda pernah ketemu dengan malaikat?” Tanya Lili ingin
tahu.
Ibundanya
tersenyum mendengar pertanyaan anaknya itu.
“Pernah,”
jawab Bunda Lili mantap membuat Lili menggebu-gebu dengan pertanyaannya
selanjutnya.
“Pernah?!”
mata Lili terbelalak, kaget sekaligus kagum.
“Seperti
apa, Bunda?” tanyanya lagi.
“Emm…seperti
apa, ya? Ceritakan tidak, ya?” goda Bunda Lili.
“Ayolah,
Bunda! Lili ingin tahu,” bujuk Lili agak manyun.
“Ini
malaikatnya bunda,” kata Bunda Lili kemudian.
“Bunda
punya malaikat?” Lili kaget sekali.
“Iya,
Lili juga punya,” balas Bunda Lili membuat Lili penasaran dan semakin
penasaran.
“Iya,
Bunda?”
“Iya
Lili sayang.”
“Tapi
Lili tidak pernah melihat malaikatnya Lili.”
“Pasti
pernah, Sayang. Setelah ini Lili pasti mengerti. Dengarkan Bunda sayang!”
“Iya,
Bunda.”
“Malaikat
Bunda itu sangat baik hati, lembut,
penuh rasa cinta, bijaksana, kalau senyum melelehkan semua es di kutub selatan
dan utara. Malaikatnya bunda sangat, sangatlah cantik jelita. Lili mengenalnya,
kok.”
“Lili
kenal, Bunda? Siapa? Siapa, Bun?”
“Emm…coba
tebak siapa?”
Lili
menggeleng.
“Lili
kan belum kenalan sama malaikatnya Bunda,” manyun.
“Nenek
Lili adalah malaikatnya bunda.”
“Lho…nenek
kan manusia Bunda.”
“Iya.
Tapi bagi bunda, nenek adalah malaikat. Karena semua sifat dan kasih sayang
yang nenek berikan pada bunda sewaktu bunda kecil sampai dewasa.”
“Kalau
begitu malaikatnya Lili itu Bunda?”
“Terserah
Lili memaknainya sayang.”
“Waah,
Lili punya malaikat. Bunda Lili malaikatnya Lili.”
“Kalau
begitu Bunda harus segera pergi sayang. Allah dan nenek telah menunggu Bunda.”
“Lhooo…Bunda
mau kemana?”
“Bunda
mau ketemu sama Allah, sayang.”
“Lili
ikut ya Bunda?”
“Tidak
boleh cinta.”
“Tapi
Lili juga ingin ketemu Allah.”
“Belum
waktunya, sayang.”
“Bunda
kan malaikatnya Lili. Bunda tidak boleh pergi!”
“Maka
dari itu Bunda harus pergi sayang. Bunda harus berkumpul dengan malaikat yang
lain.”
“Kalau
begitu Lili juga ingin jadi malaikat.”
“Jangan
sekarang sayang! Lili tidak kasihan sama Ayah dan kak Amron?”
“Lili…Lili…sayang
sama Ayah dan kak Amron. Tapi Lili juga sayang Bunda. Bunda, Lili ingin jadi
malaikat seperti Bunda.”
“Ayah
dan kak Amron sangat membutuhkanmu Lili sayang. Jadilah malaikat untuk mereka.
Malaikat yang baik, cantik dan bersahaja. Malaikat penjaga Ayah dan kak Amron.
Jadi Lili harus tetap di sini. Lili mengerti kan sayang?”
“Bundaaaaa,
Lili ingin jadi malaikat!”
0 comments:
Post a Comment