“Dasar anak teroris!”
Umpatan-umpatan dan juga hujatan-hujatan semacam itu
terus berdatangan kepada anakku. Tiap hari tanpa henti. Seringkali anakku pun menangis, mengadu
padaku yang juga nanar. Aku tidak kuat lagi menjalani ujian yang silih berganti
datang. Permasalahan demi permasalahan seolah-olah tidak henti-hentinya
mengalir. Aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapinya. Aku pun juga tidak tahu
bagaimana lagi cara untuk menghibur anakku yang selalu di bawah tekanan
orang-orang yang tidak berkerikemanusiaan. Bayangkan, anakku kini baru 2 tahun
tetapi mereka begitu teganya memperlakukannya seperti itu. Seringkali anakku
bertanya, “Umi, teroris itu apa? Apakah aku anak teroris?”
Dan aku hanya tergugu, menyapu linangan airmata yang
berderai. Dalam tiap malam-malamnya aku selalu berkata pada anakku yang tidur
pulas. Anakku sayang maafkan umi, kamu bukan anak teroris. Umi yakin, abimu
tidak seperti itu, itu hanya sebuah rekayasa.
Malam itu pikiranku terbang melayang, berputar pada
malam dimana penangkapan suamiku, yang membuat hidupku berubah seratus delapan
puluh derajat, 9 November 2010. Waktu itu aku sedang hamil tua, kandunganku
berusia kira-kira tujuh bulan setengah. Malam sudah terlalu larut, namun
suamiku belum juga pulang. Tidak biasanya suamiku pulang malam tanpa memberi
kabar. Hatiku pun mulai risau tak menentu. Aku mencoba untuk mengiriminya pesan
singkat, tapi tidak pernah dibalas. Aku juga mencoba untuk meneleponnya, tetapi
juga tidak pernah diangkat. Aku semakin gelisah, dan tiba-tiba mereka datang.
Mereka seperti polisi, namun tidak mengenakan
seragam polisi. Mereka hanya mengenakan jaket kulit hitam tebal. Orang-orang
menyebut mereka dengan Pasukan 87T1. Mereka mengetuk pintu rumahku dengan
sangat keras, seolah ingin mendobrak. Aku yang sedang mencoba menenangkan diri
dengan muroja’ah tersentak kaget
mendengar pintuku seolah-oleh didobrak. Refleks, aku langsung membukakan pintu
itu. Betapa terkejutnya diriku, ketika melihat suamiku kedua tangannya diikat,
mulutnya dibungkus dengan lakban hitam dan tubuhnya didorong dengan kasar ke
arahku.
“Ada apa ini?” tanyaku marah dan tak mengerti.
Mereka tidak menjawab, tetapi dengan lancangnya
malah mengobrak-abrik seluruh isi rumahku. Pintu kamarku didobrak, gagang pintu
dijebol, pintu dapur pun ditendang, lemari-lemari dibongkar, kasur
diinjak-injak, 7 CPU yang akan dipakai untuk usaha membuka warnet diambil,
kamera sony milikku dibawa beserta uang 15 juta raib oleh mereka. Setelah puas
mengobrak-abrik seisi rumahku, mereka dengan kasar menyeret suamiku, sementara
aku sendiri disuruhnya pergi. Aku tidak boleh lagi memasuki rumahku, sedang
tetangga-tetanggaku menatapku sinis, jijik, seolah-olah aku makhluk paling
menjijikkan sedunia.
Malam itu, aku benar-benar tidak tahu lagi harus ke
mana.
“Bu, izinkan saya menginap semalam di rumah ibu,”
pintaku memelas, putus asa pada seorang tetanggaku yang kukira baik hati.
“Dasar istri teroris, tidak tahu diri! Pergi saja
dari kampung ini!” hujatnya padaku. Aku sungguh tidak menyangka, Ibu Laksmi yang
kukenal selama ini baik hati ternyata tega memperlakukanku seperti itu bahkan
mengusirku.
Kali ini aku benar-benar menangis, hatiku perih. Dan
pada saat itu, aku merasakan sakit yang berlebih di perutku. Darah mengalir dan
aku tak sadarkan diri lagi.
Ketika aku tersadar, ternyata aku sudah berada di
rumah sakit bersalin dan hanya ditemani seorang sanak keluarga jauh. Aku
kembali dikejutkan dengan judul berita pada salah satu surat kabar ‘Tersangka
Teroris Muhammad Rafiqo telah Dibekukan.’
“Telah ditemukan bom di bawah dipan di rumah
tersangka.” Dalam hati aku tertawa membaca pernyataan di surat kabar tersebut.
Kami tidak pernah mempunyai dipan. Kami tidur hanya beralaskan kasur tanpa
dipan.
Aku bingung, mengapa mereka menangkap suamiku.
Apakah karena suamiku terlalu baik. Apakah karena suamiku berjenggot tebal,
bercelana cingkrang dan taat beribadah. Aku kira itu hal-hal yang sangat baik.
Atau ini hanya sebuah rekayasa belaka?
Pertanyaan demi pertanyaan berlabuh di otakku yang
senantiasa bersujud pada-Nya. Apakah penangkapan ini berhubungan dengan
kedatangan presiden negeri Antar Sengsara ke negeri ini? Suamiku secara politik
memang tidak pernah sepakat dengan Antar Sengsara, dan presidennya. Ia kerap
kali melakukan kritik terhadap presiden Antar Sengsara karena kebijakan
politiknya selalu merugikan orang-orang seperti kami dan menciptakan sistem
kapitalisme yang membawa dunia pada kemiskinan. Tetapi aku yakin, suamiku tidak
pernah terbersit sedikitpun pikiran untuk membinasakan presiden Antar Sengsara.
Meski ia tidak pernah sependapat dengan presiden Antar Sengsara, tetapi ia
masih mempunyai hati dan rasa perikemanusiaan yang tinggi. Pikiran-pikiran itu terus
berkecambuk di otakku tiada henti. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan
hal ini. Toh, Yang Maha Kuasa pasti mengetahui semua kebenarannya.
Keesokan harinya, Alhamdulillah anakku lahir dengan
selamat, meski kandunganku waktu itu baru berusia tujuh setengah bulan.
Kelahiran anakku yang pertama terlalu dini, tetapi Maha Suci Allah, anakku
lahir tanpa cacat.
Selepas kelahiran anakku, aku ingin membuatkan akta
kelahirannya. Namun, semua dipersulit. Petugas kecamatan tidak mau mengurus
perihal akta anakku yang kuberi nama Muhammad Nurul Iqbal. Alasannya sangat
sepele, hanya karena anakku anak abinya, Muhammad Rafiqo, tersangka teroris.
Bahkan mereka menyebutku dengan sebutan ‘Istrinya teroris.’ Sebuah sebutan yang
tidak pernah terbayangkan olehku dalam hidupku.
Pembuatan akta anakku gagal. Aku mencoba menahan
amarahku, kalau aku marah apa bedanya aku dengan mereka yang licik dan biadab
itu. Selama ini aku hanya memendamnya, hingga pada suatu hari, aku dan pak RT
di kampungku dipanggil oleh Pasukan 87T1 untuk segera menghadap di kantor
mereka. Aku dan pak RT pun menghadiri panggilan itu. Aku, suamiku, dan pak RT
digiring oleh pasukan 87T1 ke ruang grasi, dan diperlihatkan ada peluru dan
sarung pistol revolver AK 470 dalam sebuah ransel yang katanya ditemukan di
kamar rumahku dua hari setelah penangkapan itu. Aku tidak tahu bagaimana ini
bisa terjadi. Setahuku, suamiku tidak pernah mempunyai ransel itu, apalagi
isinya sama sekali baru.
Suamiku membantah kalau barang-barang itu miliknya,
tetapi Pasukan 87T1 memaksakan kehendaknya bahwa barang-barang itu milik
suamiku. Aku yang sedari tadi mendengarkan pembantahan suamiku, mencoba untuk
membela suamiku. Pembelaan demi pembelaan terucap dari bibirku yang sama sekali
tak berlipstik, bibirku hampir-hampir nyonyor.
Tetapi apalah daya diriku, aku dan suamiku hanyalah rakyat kecil biasa, yang
tidak akan pernah mau membeli hukum murahan. Dengan tuduhan itu suamiku harus
mendekam di hotel prodeo selama 2,5 tahun. Hukum memang tidak selamanya sesuai
harapan. Ia akan bekerja sesuai dengan actor-aktor yang berkepentingan di
dalamnya.
“Huft,” aku menghela nafas panjang.
Lalu salah seorang Petugas 87T1 tiba-tiba
menghampiriku. Wajahnya terlihat lesu, dan tertunduk. Kemudian, pelan ia
menghampiriku dan mengucap “maaf” padaku.
0 comments:
Post a Comment