Labels:

REKAYASA 87T1

“Dasar anak teroris!”
Umpatan-umpatan dan juga hujatan-hujatan semacam itu terus berdatangan kepada anakku. Tiap hari tanpa henti.  Seringkali anakku pun menangis, mengadu padaku yang juga nanar. Aku tidak kuat lagi menjalani ujian yang silih berganti datang. Permasalahan demi permasalahan seolah-olah tidak henti-hentinya mengalir. Aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapinya. Aku pun juga tidak tahu bagaimana lagi cara untuk menghibur anakku yang selalu di bawah tekanan orang-orang yang tidak berkerikemanusiaan. Bayangkan, anakku kini baru 2 tahun tetapi mereka begitu teganya memperlakukannya seperti itu. Seringkali anakku bertanya, “Umi, teroris itu apa? Apakah aku anak teroris?”
Dan aku hanya tergugu, menyapu linangan airmata yang berderai. Dalam tiap malam-malamnya aku selalu berkata pada anakku yang tidur pulas. Anakku sayang maafkan umi, kamu bukan anak teroris. Umi yakin, abimu tidak seperti itu, itu hanya sebuah rekayasa.
Malam itu pikiranku terbang melayang, berputar pada malam dimana penangkapan suamiku, yang membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat, 9 November 2010. Waktu itu aku sedang hamil tua, kandunganku berusia kira-kira tujuh bulan setengah. Malam sudah terlalu larut, namun suamiku belum juga pulang. Tidak biasanya suamiku pulang malam tanpa memberi kabar. Hatiku pun mulai risau tak menentu. Aku mencoba untuk mengiriminya pesan singkat, tapi tidak pernah dibalas. Aku juga mencoba untuk meneleponnya, tetapi juga tidak pernah diangkat. Aku semakin gelisah, dan tiba-tiba mereka datang.
Mereka seperti polisi, namun tidak mengenakan seragam polisi. Mereka hanya mengenakan jaket kulit hitam tebal. Orang-orang menyebut mereka dengan Pasukan 87T1. Mereka mengetuk pintu rumahku dengan sangat keras, seolah ingin mendobrak. Aku yang sedang mencoba menenangkan diri dengan muroja’ah tersentak kaget mendengar pintuku seolah-oleh didobrak. Refleks, aku langsung membukakan pintu itu. Betapa terkejutnya diriku, ketika melihat suamiku kedua tangannya diikat, mulutnya dibungkus dengan lakban hitam dan tubuhnya didorong dengan kasar ke arahku.
“Ada apa ini?” tanyaku marah dan tak mengerti.
Mereka tidak menjawab, tetapi dengan lancangnya malah mengobrak-abrik seluruh isi rumahku. Pintu kamarku didobrak, gagang pintu dijebol, pintu dapur pun ditendang, lemari-lemari dibongkar, kasur diinjak-injak, 7 CPU yang akan dipakai untuk usaha membuka warnet diambil, kamera sony milikku dibawa beserta uang 15 juta raib oleh mereka. Setelah puas mengobrak-abrik seisi rumahku, mereka dengan kasar menyeret suamiku, sementara aku sendiri disuruhnya pergi. Aku tidak boleh lagi memasuki rumahku, sedang tetangga-tetanggaku menatapku sinis, jijik, seolah-olah aku makhluk paling menjijikkan sedunia.
Malam itu, aku benar-benar tidak tahu lagi harus ke mana.
“Bu, izinkan saya menginap semalam di rumah ibu,” pintaku memelas, putus asa pada seorang tetanggaku yang kukira baik hati.
“Dasar istri teroris, tidak tahu diri! Pergi saja dari kampung ini!” hujatnya padaku. Aku sungguh tidak menyangka, Ibu Laksmi yang kukenal selama ini baik hati ternyata tega memperlakukanku seperti itu bahkan mengusirku.
Kali ini aku benar-benar menangis, hatiku perih. Dan pada saat itu, aku merasakan sakit yang berlebih di perutku. Darah mengalir dan aku tak sadarkan diri lagi.
Ketika aku tersadar, ternyata aku sudah berada di rumah sakit bersalin dan hanya ditemani seorang sanak keluarga jauh. Aku kembali dikejutkan dengan judul berita pada salah satu surat kabar ‘Tersangka Teroris Muhammad Rafiqo telah Dibekukan.’
“Telah ditemukan bom di bawah dipan di rumah tersangka.” Dalam hati aku tertawa membaca pernyataan di surat kabar tersebut. Kami tidak pernah mempunyai dipan. Kami tidur hanya beralaskan kasur tanpa dipan.
Aku bingung, mengapa mereka menangkap suamiku. Apakah karena suamiku terlalu baik. Apakah karena suamiku berjenggot tebal, bercelana cingkrang dan taat beribadah. Aku kira itu hal-hal yang sangat baik. Atau ini hanya sebuah rekayasa belaka?
Pertanyaan demi pertanyaan berlabuh di otakku yang senantiasa bersujud pada-Nya. Apakah penangkapan ini berhubungan dengan kedatangan presiden negeri Antar Sengsara ke negeri ini? Suamiku secara politik memang tidak pernah sepakat dengan Antar Sengsara, dan presidennya. Ia kerap kali melakukan kritik terhadap presiden Antar Sengsara karena kebijakan politiknya selalu merugikan orang-orang seperti kami dan menciptakan sistem kapitalisme yang membawa dunia pada kemiskinan. Tetapi aku yakin, suamiku tidak pernah terbersit sedikitpun pikiran untuk membinasakan presiden Antar Sengsara. Meski ia tidak pernah sependapat dengan presiden Antar Sengsara, tetapi ia masih mempunyai hati dan rasa perikemanusiaan yang tinggi. Pikiran-pikiran itu terus berkecambuk di otakku tiada henti. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan hal ini. Toh, Yang Maha Kuasa pasti mengetahui semua kebenarannya.
Keesokan harinya, Alhamdulillah anakku lahir dengan selamat, meski kandunganku waktu itu baru berusia tujuh setengah bulan. Kelahiran anakku yang pertama terlalu dini, tetapi Maha Suci Allah, anakku lahir tanpa cacat.
Selepas kelahiran anakku, aku ingin membuatkan akta kelahirannya. Namun, semua dipersulit. Petugas kecamatan tidak mau mengurus perihal akta anakku yang kuberi nama Muhammad Nurul Iqbal. Alasannya sangat sepele, hanya karena anakku anak abinya, Muhammad Rafiqo, tersangka teroris. Bahkan mereka menyebutku dengan sebutan ‘Istrinya teroris.’ Sebuah sebutan yang tidak pernah terbayangkan olehku dalam hidupku.
Pembuatan akta anakku gagal. Aku mencoba menahan amarahku, kalau aku marah apa bedanya aku dengan mereka yang licik dan biadab itu. Selama ini aku hanya memendamnya, hingga pada suatu hari, aku dan pak RT di kampungku dipanggil oleh Pasukan 87T1 untuk segera menghadap di kantor mereka. Aku dan pak RT pun menghadiri panggilan itu. Aku, suamiku, dan pak RT digiring oleh pasukan 87T1 ke ruang grasi, dan diperlihatkan ada peluru dan sarung pistol revolver AK 470 dalam sebuah ransel yang katanya ditemukan di kamar rumahku dua hari setelah penangkapan itu. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Setahuku, suamiku tidak pernah mempunyai ransel itu, apalagi isinya sama sekali baru.
Suamiku membantah kalau barang-barang itu miliknya, tetapi Pasukan 87T1 memaksakan kehendaknya bahwa barang-barang itu milik suamiku. Aku yang sedari tadi mendengarkan pembantahan suamiku, mencoba untuk membela suamiku. Pembelaan demi pembelaan terucap dari bibirku yang sama sekali tak berlipstik, bibirku hampir-hampir nyonyor. Tetapi apalah daya diriku, aku dan suamiku hanyalah rakyat kecil biasa, yang tidak akan pernah mau membeli hukum murahan. Dengan tuduhan itu suamiku harus mendekam di hotel prodeo selama 2,5 tahun. Hukum memang tidak selamanya sesuai harapan. Ia akan bekerja sesuai dengan actor-aktor yang berkepentingan di dalamnya.
“Huft,” aku menghela nafas panjang.

Lalu salah seorang Petugas 87T1 tiba-tiba menghampiriku. Wajahnya terlihat lesu, dan tertunduk. Kemudian, pelan ia menghampiriku dan mengucap “maaf” padaku.

0 comments:

 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters