Labels:

MAWAR YANG HILANG


Minggu berkilau di Taman Bale Kambang. Cerah, menyapa muda-mudi dan keluarga yang sedang bercumbu melepaskan rindu selama sepekan. Wajah-wajah sumringah tampak indah dipandang. Suasana angin sepoi-sepoi dan danau buatan yang aduhai menambah keriangan wajah-wajah itu. Namun, tidak bagi Dimas. Di sudut taman Bale Kambang, ia tampak muram. Wajahnya tertunduk lesu. Di tangannya ada beberapa Koran Harian Mingguan.
Berita itu membuat bibirnya bungkam dan bimbang. Pikiran Dimas mulai retak. Ia tidak tahu sesungguhnya akan perasaan terpendam itu. Perasaan yang bersemi dalam diam di atas nama persahabatan. Perasaan terhadap lawan jenis yang kadang serasa coklat, tapi kadang tak semanis yang dibayangkan. Mawar, namanya. Gadis yang mulai tenar karena menjadi pemenang audisi bergengsi di salah satu acara televisi, Woman Factors.
Mawar, gadis remaja yang selama ini menjadi sahabat Dimas dan tumbuh bersemi di hatinya. Gadis belia nan cantik yang selalu ada disaat Dimas membutuhkan seorang teman. Di sekolah, mereka dikenal dengan The Literature Couple (TLC) oleh teman-temannya. Dimas dan Mawar selalu bersama membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra. Melipat-lipat Koran Harian Mingguan dan mendaras rubrik sastranya merupakan bagian dari kisah mereka.
Dimas masih terduduk lesu di Taman Bale Kambang. Sesekali wajahnya mendongak ke langit biru. Tapi, sesekali ia pun menerawang jauh ke danau indah yang ada di Bale Kambang. Patung Partinah Twin yang ada di tengah-tengah danau itu seolah melambai. Wajah patung itu berubah menjadi wajah imut sahabatnya, Mawar. Kini, pikiran Dimas kembali menerawang di masa lalu yang membuatnya merasa kecewa, sakit hati.
☼☼☼.
Woi, lihat ini! Ada audisi Woman Factors,” teriak Toni di dalam kelas sembari membawa majalah yang berisikan informasi itu.
Toni antusias memberikan pengumuman kepada teman-temannya dan memotivasi agar ikut audisi tersebut. Maklum, kebanyakan di kelas itu bercita-cita menjadi seorang penyanyi terkenal semacam Afgan dan Rosa. Lewat audisi ini, mereka berharap bisa mewujudkan cita-citanya itu.
Di bangkunya, Dimas dan Mawar masih asyik-masyuk berdiskusi tentang novel Ronggeng Dukuh Paruk karya sastrawan terkenal Ahmad Tohari. Mereka sama sekali tidak menggubris pengumuman yang disampaikan oleh Toni. Mereka fokus dengan dunia sastranya, tidak mempedulikan teman-teman mereka yang sedang heboh diguncang “Woman Factors”.
Woi, TLC! Asyik aja dengan dunianya sendiri. Ada berita bagus nich. AUDISI WOMAN FACTORS,” ujar Toni mencoba menghancurkan konsentrasi Dimas dan Mawar.
Dimas dan Mawar sama sekali tidak peduli. Mereka menatap sejenak ke arah Toni, kemudian beralih kembali pada buku sastra karya Ahmad Tohari yang bagi mereka lebih menarik dibanding audisi “Woman Factors” . Toni tidak patah arang.
“Eh, Mawar, suaramu kan bagus? Ikutan aja, pasti menang!”
Mawar hanya sedikit melebarkan bibir ke kanan dan ke kiri mendengar bualan Toni. Toni yang merasa mendapat senyum, langsung berkepala besar.
Yee, malah mesem. Ikutan ya?” bujuk Toni lagi dengan wajah yang lebih serius.
Dimas yang sedari tadi membaca Ronggeng Dukuh Paruk menjadi ikut beralih ke pembicaraan Mawar dan Toni. Dimas yang gemas dengan tingkah polah Toni mencoba untuk sedikit memberi perhatian padanya.
“Ada apa tho, Ton? Heboh banget.” Dimas mulai angkat bicara. Dua lesung pipitnya mulai mengembang. Toni tidak menyahut dengan antusias, ia malah melemparkan majalah yang berisi informasi “Woman Factors” itu dihadapannya. Toni pergi berlalu begitu saja seperti tidak ada apa-apa.
Dimas yang merasa bersalah pada Toni, kemudian segera mengambil majalah yang dilemparkan oleh Toni. Ia membuka-buka majalah itu dan mencari pengumuman informasi “Woman Factors” yang sempat mengguncang kelasnya. Dimas mulai membaca dengan saksama pengumuman peluang menjadi penyanyi itu.
Hatinya menjadi bimbang membaca pengumuman itu. Ia teringat akan cita-cita Mawar yang dulu sebelum mengenal Dimas yang ingin menjadi sastrawan. Menjadi penyanyi adalah cita-cita Mawar sejak dulu. Dimas mulai tenggelam dalam kebimbangan dan lamunan hingga lonceng tanda pulang sekolah berbunyi.
Seperti biasa, Dimas dan Mawar tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Kerakusan terhadap hal-hal berkaitan dengan sastra membuat mereka selalu ingin berimajinasi. Mereka selalu pergi ke Taman Bale Kambang selepas sekolah untuk mengerjakan sebuah proyek besar bersama membuat novel sastra inspiratif seperti novel-novel Andrea Hirata atau novel fantasi seperti novel Harry Potternya JK Rowling.
Dimas dan Mawar duduk di sudut taman pinggir danau buatan. Mereka hendak melepaskan penat bersama. Duduk memandang danau yang indah membuat pikiran yang kalut menjadi bersemangat. Perahu angsa diiringi keluarga angsa yang menari-nari di danau menambah keeksotisan pemandangan di taman itu.
Empat mata yang duduk di sudut taman dengan berseragamkan putih abu-abu mencoba mengamati keadaan untuk kemudian dituangkan dalam tulisan. Mata mereka terfokus pada perahu angsa yang berputar-putar di atas air. Mereka terkekeh-kekeh melihat sepasang kekasih yang duduk asyik di atas perahu angsa itu. Namun sesekali Dimas melihat wajah ayu Mawar.
Dimas memandang lekat ke arah Mawar. Lalu, tiba-tiba Dimas berdiri, mengagetkan Mawar yang tengah berfantasi ria memandang dua kekasih di atas perahu angsa itu. Tanpa kata, tanpa suara Dimas menarik tangan Mawar. Mawar pun hanya bisa mengikuti Dimas sahabatnya dengan penuh tanda tanya.
“Pak, perahu angsa satu!” seru Dimas.
Rupanya, Dimas juga ingin merasakan duduk di singgasana perahu angsa hanya berdua dengan Mawar. Mawar yang sedari tadi mengerutkan kening dan bertanya-tanya dalam hati telah menemukan jawabnya. Kini, Dimas dan Mawar duduk di atas singgasana itu.
Mereka mengayuh perahu angsa itu berdua, menikmati kebersamaan yang indah. Bagi Dimas, inilah hal terindah yang belum pernah ia dapat selama ini. Sama dengan sebelumnya, Mawar hanya membicarakan sastra, sastra, dan sastra hingga menimbulkan kebosanan di hati Dimas. Ia hanya ingin berdua bersama Mawar.
“Mawar, kamu ikutan audisi itu saja!” ujar Dimas mulai mengalihkan pembicaraan.
“Ah, kamu ini Dim. Kamu tahu kan, duniaku adalah sastra bukan penyanyi,” jawab Mawar santai.
“Bukankah dulu kamu ingin menjadi seorang penyanyi?”
Mawar tidak menjawab pertanyaan Dimas. Ia hanya tersenyum mendengar pertanyaan Dimas yang baginya terdengar agak aneh.
“Sungguh Mawar, aku ingin kamu ikut audisi itu,” lanjut Dimas.
Mawar masih tidak menggubris Dimas.
“Maw..!”
“Aku takut, Dim kebersamaan ini akan hilang kalau aku ikut audisi itu,” jawab Mawar serius.
“Tidak akan! Kamu percaya padaku kan, Maw? Kita akan selalu bersama sebagai sahabat, tidak akan terpisahkan selamanya.”
“Baiklah kalau begitu.”
Dimas merasa puas dengan jawaban Mawar. Dimas adalah sosok sahabat yang setia bagi Mawar. Ia selalu menemani Mawar ketika mendaftar audisi itu bahkan sampai pentas Mawar untuk pertama kali. Dimas hadir member sorak. Ia memberikan semangat meski harus membolos sekolah untuk beberapa kali.
Mawar memukau penonton di seluruh Indonesia dengan suaranya, bahkan dewan juri turut menampakkan kekagumannya. Suaranya sangat indah dan merdu sehingga membuat semua orang yang mendengarnya tersihir. Audisi pertama, Mawar lolos. Dimas sangat girang Mawar bisa lolos dan masuk pada babak selanjutnya.
Dimas tidak henti-hentinya menyemangati Mawar. Ia selalu ada untuk Mawarnya itu. Sampai pada babak penyisihan terakhir hingga Mawar harus dikarantina. Dimas sama sekali tidak bisa menghubungi Mawar. Hanya sekedar mengucap “Semangat Mawar!” tidak ada satupun kesempatan untuk itu meski hanya lewat telepon genggam apalagi bertemu dengannya. Dimas berharap, suatu saat nanti ia masih dapat berdiskusi dan berdua dengan Mawar perihal sastra.
Sampai pada puncak acara, Mawar mampu menyihir semua orang dengan suaranya yang menawan. Mawar ditetapkan menjadi pemenang runner up, hal yang sangat membanggakan terutama bagi Dimas yang menjadi penyemangat utama dibalik kemenangan Mawar.
Pada waktu itu, Dimas dengan cucuran air mata hendak menemui Mawar dan mengucapkan selamat pada Mawar. Ditangannya pun tergenggam rangkaian mawar merah yang sangat indah. Dimas hendak menemui Mawar. Namun, ketika Dimas melambaikan tangan pada Mawar, Mawar justru malah melengos. Dimas mencoba ulang, tapi Mawar malah berlari. Dimas pun mengejar Mawar dan memanggil-manggil Mawar.
“Maaf, Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda” ujar Mawar pada Dimas.
Di sudut Taman Bale Kambang, Dimas masih terpekur memandangi koran yang berisikan berita kemenangan Mawar. Hal yang menyakitkan bagi Dimas adalah Mawar yang dulu sahabat dekatnya, yang selalu ada di kala susah dan senang, tapi kini menghilang sudah. Mawar telah berubah. Mawar yang dahulu selalu menebar kebahagiaan dengan mahkotanya yang indah, kini mulai mengeluarkan durinya yang tajam pada Dimas. Tidak ada lagi kebiasaan mendiskusikan kasusastraan.
Di Bale Kambang tampak sepi di hari yang mulai siang ini. Keluarga-keluarga yang sedari pagi bercumbu sudah merasa bosan. Begitu pula dengan Dimas. Ia mencoba mengusir kebiasaannya itu dengan memandang patung Partinah Twin di tengah danau. Patung Partinah itu berubah menjadi Mawar yang cantik. Patung itu seolah memanggil Dimas. Dimas pun beranjak dari tempat duduknya, kemudian melangkah ke arah danau. Ia mendekati ke danau. Langkah kaki Dimas semakin pasti dan danau itu mulai beriak.


0 comments:

 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters