Beberapa
waktu yang lalu, saya mendapat pesan singkat dari salah seorang teman. Isinya
adalah sebuah ajakan untuk silaturahmi ke salah seorang sastrawan besar,
Pramoedya Ananta Toer. Aku langsung bersemangat membalas pesan singkat itu,
tanpa pikir panjang kubalas dan kunyatakan persetujuanku untuk silaturahmi ke
rumah Pramoedya Ananta Toer. Akhirnya dengan perundingan panjang, pada tanggal 1 September 2012, kami, rombongan Laskar Kang Nass berangkat ke Blora.
Sebagai mahasiswa sastra Indonesia, saya dipaksa untuk mengenal sastrawan-sastrawan yang pernah ada di Indonesia, baik lewat orangnya ataupun lewat karya sastranya. Berbagai macam karya sastra sudah saya lahap, mulai dari karya sastra zaman balai pustaka sampai zaman sekarang. Salah satu karya sastra yang memikat hatiku adalah tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Saya mulai mengenal dan mengagumi karya-karya Pram sejak saya berada di jurusan sastra Indonesia.
Sebagai mahasiswa sastra Indonesia, saya dipaksa untuk mengenal sastrawan-sastrawan yang pernah ada di Indonesia, baik lewat orangnya ataupun lewat karya sastranya. Berbagai macam karya sastra sudah saya lahap, mulai dari karya sastra zaman balai pustaka sampai zaman sekarang. Salah satu karya sastra yang memikat hatiku adalah tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Saya mulai mengenal dan mengagumi karya-karya Pram sejak saya berada di jurusan sastra Indonesia.
Dari
sinilah saya mulai mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer yang hebat. Saya takjub
dengan ketangguhannya, kegigihannya, ideologinya, keuletannya, pendiriannya,
keberaniannya. Menurut saya, Pram adalah sang inspirator, terutama dalam
menghasilkan karya sastra. Ia pernah beucap, “Menulis adalah tugas pribadi dan
tugas nasional.” Memang, ia sangat produktif dalam hal menulis. Bahkan banyak
karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Meski banyak
karya-karyanga harus menghilang karena rezim Soeharto atau karena
kebijakan-kebijakan yang tidak bijak, ia tetap berkarya dengan keberanian. Ia
pernah berkata, “Kalau mati dengan berani, kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian
tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” Wow, kata-kata
yang sangat spektakuler. Menjalani hidup harus penuh dengan keberanian. Mungkin
inilah yang menjadikannya dikenal dan dikenang sepanjang masa. Ia berani untuk
menulis, meski tulisannya banyak yang dibakar bahkan ia harus rela menetap di
penjara hanya gara-gara tulisannya.
Pramoedya
dikenal sebagai sastrawan empat zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman orde lama,
zaman orde baru, dan zaman reformasi. Namun bagiku, pramoedya adalah sastrawan
sepanjang zaman. Karya-karyanya akan selalu terkenang.
Pram
pernah berkata, “KEGAGALAN KESUSASTRAAN MODERN INDONESIA: KEGAGALAN REVOLUSI.”
Sebuah
karya sastra memang mempunyai kekuatan istimewa. Efek saat menikmati karya
sastra sangatlah dahsyat, karena fungsi karya sastra sendiri adalah dulce et
utile, yaitu menghibur dan mendidik. Sebuah karya sastra juga merupakan cermin
masyarakat, artinya bila kita membaca sebuah karya sastra, kita bisa mengetahui
situasi dan kondisi masyarakat di daerah tertentu dan pada kurun waktu
tertentu. Dari membaca karya sastra, kita bisa mengetahui sejarah atau budaya
suatu masyarakat. Begitu pula karya-karya Pram yang beraliran realis-sosialis,
karya-karyanya sangat monumental dan spektakuler.
Saya
juga takjub dengan semua yang ada dalam diri seorang Pram. Dalam keterbatasan
dan ketidakbebasan karena terkekang di dalam penjara, ia tetap menelurkan
karya, bahkan lebih produktif. Bandingkan dengan kita! Kita mendapat fasilitas
yang hebat dan canggih seperti laptop, namun apakah kita mampu menelurkan karya
seperti Pram? Padahal Pram pernah tidak naik kelas tiga kali, bahkan dikatakan ‘goblok’
oleh ayahnya sendiri, namun Pram kini menjadi tokoh yang dikenang. Sedangkan
kamu? Kamu adalah sarjana mungkin telah menjadi professor, lantas kontribusi
apa yang kamu berikan pada bangsa ini?
0 comments:
Post a Comment