Sebuah
petualangan hidup yang tembus pada kisah masa lalu. Siluet-siluet itu mencoba
hadir kembali, di sini, saat ini, di masa depanku. Aku terpana, terpaku,
memandangnya. Tak terasa bulir-bulir bening menetes dan membanjiri pipiku yang
kemerahan. Aku hanya duduk terpaku menyaksikan mereka bersorak-sorai di samping
panggung.
Aku
seperti melihat masa laluku yang indah. Masa lalu yang begitu melekat erat
dalam hidupku. Kerinduan itu kini sedikit terobati.
Kenangan
itu terbuka kembali dan aku bisa melihatnya dengan jelas. Ketika dahulu aku
berseragamkan baju muslim ala TPA. Aku masih ingat, aku memakai ukuran S
seperti ukuranku saat ini ketika aku membeli baju. Warnanya hijau seperti warna
kulit telur bebek.
Aku
masih ingat. Tak pernah aku menangis, tak pernah aku bersedih. Masa-masa TPA
penuh arti, penuh keceriaan. Perasaanku ringan kala itu, seperti tidak ada
beban sedikitpun di pundakku. Aku selalu tersenyum, tertawa, dan bahagia.
Ditambah lagi prestasi-prestasi yang kuraih hingga aku menjadi lulusan tercepat
mengkhatamkan iqra’ 1 sampai 6, hingga pada akhirnya ketika aku kelas 4 SD aku
telah mengajar TPA.
Aku
ditugasi membantu adik-adikku membaca huruf hijaiyyah. Kadang aku gemas sekali,
huruf yang sangat gampang ini, kenapa mereka begitu sulit untuk mengucapkannya?
Gerutuku. Astaghfirulloh, begitu sombongnya diriku ini. Aku harus membuat
mereka segera bisa membacanya, bahkan mereka harus lebih pintar dari aku.
Azzamku kemudian.
Aku
senang sekali mengajar TPA, semangat menggebu dengan seluruh tenaga yang aku
punya. Semangatku bertambah, ketika tiap jadwal hari TPA adik-adik bergerombol
pergi ke rumahku untuk menjemputku. Mereka dengan wajah polosnya memohon-mohon
padaku untuk segera hadir dan mengajari mereka membaca iqra’.
Aku
rindu masa-masa itu. Sangat, dari dasar lubuk hatiku, karena semakin umurku
bertambah kesibukan lain mengalihkanku. Apalagi semasa SMA yang super sibuk
dengan organisasi, juga dikarenakan jarak rumahku yang sangat jauh dari SMA
membuatku tidak bisa lagi berhubungan dengan mereka. Hubunganku dengan mereka
benar-benar terputus ketika aku tidak dianggap lagi sebagai golongan mereka,
para RISMA. Perbedaan. Sebuah perbedaan membuatku dan teman-temanku saling
menjauh, di ufuk barat dan timur.
Aku
rindu masa-masa itu. Aku pun malu, sebagai aktivis dakwah kampus (ADK) tetapi
tidak bisa mengkader adik-adik di waktu kecil. Padahal masa kanak-kanak adalah
masa kekemasan dan rawan terpengaruh, tetapi kenapa aku mundur teratur? Kenapa?
Keegoisan telah membuatku seperti ini.
Aku
ingin kembali merasakan masa-masa dipanggil sebagai seorang ustadzah. Aku ingin
mengajar, juga mendidik. Aku ingin menjadi inspirasi untuk mereka, tetapi… aku
terlalu rapuh untuk itu.
Terima
kasih untuk teman-temanku, aku bisa kembali merasakan hal itu lagi meski hanya dengan
melihat. Kemarin, 23 Desember 2012 di desa Jati, kecamatan Jaten, kabupaten
Karang Anyar, aku bisa melihat antusiasme adik-adik mengikuti JAMBORE SANTRI.
Kecerianmu juga keceriaanku, kebahagiaanmu juga kebahagiaanku. Aku menyayangi
kalian.
Kalian
tahu, dalam hati aku menjarit. Kalian sangat bersemangat menghafal Al-Qur’an
sedang aku yang berazzam menjadi seorang hafidzah, justru malah santai,
berleha-leha, berpanku tangan, kadang masih berbuat maksiat. Astaghfirulloh.
Terima
kasih adik-adikku yang imut telah mengingatkanku, memberi inspirasi. Kau
inspirasiku saat ini. Terima kasih, kini aku harus bisa. Kita sama-sama ya?! :D
0 comments:
Post a Comment