Di peron stasiun balapan, tampak
orang berdesak-desakan, pedagang-pedagang asongan yang menjajakan makanan dan
rokok, mahasiswa-mahasiswi menenteng tas dan koper besar hendak pulang ke
kampung halamannya karena ini menjelang hari lebaran, terlihat juga kurir
kereta api yang asyik mengatur penumpang dan terlihat juga pencopet-pencopet
yang tengah beraksi. Pemandangan ini sudah biasa terjadi. Tidak ada yang
istimewa. Namun, tampak lelaki tua bertopi koboy, sepatu hitam mengkilat, dan
kacamata hitam berdiri di antara peron-peron stasiun itu yang sedikit menarik
perhatianku. Setengah-setengah ia menilik jam tangan yang bertengger di tangan
kanannya, dan setengah-setengah ia mondar-mandir menengok kanan-kiri seolah
mencari sesuatu.
Karena terlalu lelah berdiri mondar-mandir
dan lelah memandang lalu-lalang orang yang tak karuan, lelaki itu pun memutuskan
untuk duduk sejenak. Tampak juga gadis setengah baya yang sangat anggun dan
cantik. Ia cukup sopan dengan memakai rok abu-abu sepertiga dan hem hitam
seperti orang kantoran.
“Aku ini binatang jalang, dari
kumpulan yang terbuang,” ungkap gadis itu layu mengumandangkan syair Chairil
Anwar.
Gadis itu menengok ke arah lelaki tua
itu lalu ia tersenyum sangat manis. Kemudian mulai membuka pembicaraan.
“Pak, aku ini binatang jalang,”
ujarnya tak pernah kuduga.
Lelaki itu tak menggubris apa yang ia
katakan, ia sibuk membenahi topinya yang miring.
“Pak, aku ini binatang jalang,”
lagi-lagi gadis itu berujar demikian.
Lelaki itu tetap tidak mempedulikannya.
Namun, sang gadis terus mengatakan kalimat yang sama.
“Pak, aku ini binatang jalang. Bapak
tahu tidak?!” tanyanya pada lelaki tua itu dengan sedikit menyentak.
“Maaf, maksud Adik?” Lelaki tua mulai
angkat bicara dan sedikit menaruh perhatian, disingsingkannya lengan bajunya
yang kedodoran.
Mendengar lelaki itu bertanya
demikian, ia tersenyum.
“Saya ini binatang jalang seperti
puisi Chairil Anwar. Saya ini bukan manusia, tapi saya binatang,” katanya
kemudian membuat lelaki itu semakin tidak mengerti.
“Maksud Adik bagaimana?” Tanya lelaki
bertopi koboi, semakin penasaran.
“Aku ini bagai babi yang dikuliti,”
ungkapnya kuyu nan sayu.
“Aku ini najis, najis dan najis
sekali. Sudah babi masih dikuliti pula,” katanya kemudian semakin sulit untuk
dipahami.
Dengung kereta yang menggaung membuat
suasana peron yang ramai semakin membuncah tak karuan. Lelaki tua bertopi itu
masih duduk di samping sang gadis. Tak disangka ia malah semakin mendekat. Ia
mulai angkat bicara lagi.
“Bapak tahu siapa saya?” tanyanya.
Lelaki itu pun menggeleng.
“Aku ini anaknya tukang becak yang
ada di seberang sana. Mereka sering menyebut bapak saya dengan sebutan Atmo.
Bapak tahu bapak saya?” tanyanya lagi membuat lelaki itu semakin tak mengerti
arah pembicaraan.
Laki-laki itu menggeleng lagi.
“Bapak saya mungkin bukan orang
politik, bukan orang pemerintahan dan bukan artis yang banyak dikenal orang. Lha wong bapak saya hanya tukang becak
biasa. Tapi bapak saya terkenal di lingkungan stasiun ini,” ungkapnya sambil
tersenyum.
“Tahu tidak, Pak. Saya ini binatang
jalang? Saya ini babi yang tiap hari dikuliti dan dimakan hatinya?” tanyanya
tanpa ekspresi.
Lagi-lagi lelaki tua hanya
menggeleng. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, ia pun berusaha mengusap
dengan sapu tangannya.
“Bapak mau makan hati saya?”
“Maaf, adik dari tadi ngomong apa
bapak tidak paham. Kok, bapak disuruh makan hati Adik? Maksud Adik, saya ini
kanibal?” Tanya lelaki tua, heran.
“Jawab dulu, Pak! Apakah Bapak mau makan
hati saya? Kalau iya, saya dengan senang hati akan memberikannya pada Bapak.”
“Saya bukan kanibal, Dik. Saya hanya
tua renta yang sudah tidak berdaya.”
“Kanibal atau bukan tapi Bapak punya
nafsu, bukan?”
“Sudah barang tentu.”
“Kalau begitu makanlah hati saya.”
“Maksud adik?”
“Laki-laki zaman sekarang memang sok
suci,” cibir gadis itu kemudian.
Ia pun sedikit menyingkap roknya
hingga terlihat pahanya yang aduhai. Putih dan sangat mulus. Gadis itu sedikit
menaikkannya lagi hingga lelaki tua itu mulai tertarik. Lelaki itu menelan
ludahnya.
“Sudah saya katakan bukan? Saya ini
binatang jalang yang tak lebih baik dari babi yang dikuliti. Bahkan babi yang
dikuliti dan bunting sekalipun mungkin lebih suci dibanding diri saya ini.”
Lelaki itu sudah menangkap apa yang
gadis itu utarakan sejak tadi.
“Adik ini wanita panggilan?” ujar
lelaki itu keceplosan.
“Yaaah, terserahlah Bapak mau manggil
saya apa. Tapi inilah kenyataan,” balasnya seolah pasrah.
“Kenapa bisa begitu? Kenapa adik bisa
terjerumus ke dalam hal-hal itu? Itu terlarang.”
“Bukan keterpaksaan, bukan karena
kerelaan tapi karena diri ini memang pantas. Mungkin Tuhan telah
merencanakannya,” jawab gadis itu nrimo.
“Tapi Tuhan tidak menginginkan
hamba-Nya seperti itu. Itu perbuatan terlarang. Apa lagi ini bulan puasa,”
ungkapnya sok menasihati.
“Kalau Bapak tahu hal itu perbuatan
terlarang mengapa Bapak masih berbincang-bincang dengan saya? Tidakkah Bapak ke
sini untuk mencari seorang wanita?”
Lelaki tua itu terbelalak. Keringat
dingin kembali mengucur deras dari pelipis dan seluruh tubuhnya. Ia kaku,
tertembak mati.
“Sudah lama saya tidak terima
orderan, Pak. Saya lagi butuh,” ungkap sang gadis bermaksud menawarkan diri.
“Lalu apa hubungannya dengan saya?”
“Tolong saya, Pak! Saya sedang butuh.
Kalau saya tidak dapat pelanggan, nanti bapak saya marah dan memukul saya.”
“Jadi Bapak adik yang rela menjual
adik?”
“Saya tidak menyalahkan bapak saya,
Pak. Inilah takdir yang harus saya jalankan. Saya tidak menyalahkan
siapa-siapa, juga tak pernah menyalahkan diri ini.”
“Tapi kenapa harus menjual diri, Dik?
Kenapa tidak mencari pekerjaan lain?”
“Dengan apa, Pak? SD saja saya tidak
lulus, mau mencari pekerjaan dengan apa? Saya ini jujur, Pak. Saya tidak ingin
seperti pejabat-pejabat yang
memanipulasi data. Ngakunya lulus S-1 ternyata SMP saja tak lulus.”
Dalam hati lelaki tua itu pun
membenarkan apa yang telah dikatakan gadis ini. Tapi, setelah mendengar
pernyataan itu tubuh laki-laki itu menjadi panas-dingin tak karuan. Jantungnya
berdetak sangat kencang.
“Saya tak punya ijazah, Pak. Saya
juga tak punya ketrampilan. Modal saya yaaa hanya awak ini. Yang saya bisa berdayakan dan saya jual bukan otak, Pak.
Tapi tenaga saya dan hati saya.”
Lelaki itu hanya terdiam merenungkan
semua ini. Kemiskinan, kecurangan dan ketidakadilan telah menjadi api.
“Ayolah, Pak! Tolonglah saya! Saya
sedang butuh uang, sudah dua hari kami tidak makan,” pintanya pada lelaki itu.
Tanpa pikir panjang lelaki itu pun
mengeluarkan dompet. Dompetnya tebal, banyak warna kertas yang tersimpan di
dalamnya dan lelaki itu mengambil selembar kertas warna merah muda. Lalu ia mengulurkan
selembar uang itu dengan gemetar pada gadis itu. Tapi gadis itu menolaknya.
“Saya tidak terima uang sebelum saya
melakukannya karena itu kewajiban saya,” ungkapnya polos.
“Saya ikhlas memberikannya, Dik.
Terimalah!” paksa sang lelaki.
“Tidak! Saya harus melakukannya
dahulu baru saya akan menerima uang itu,” katanya ngotot.
“Saya berikan dengan percuma, tak
usahlah Adik melakukannya. Saya punya istri, sebentar lagi istri saya datang
menumpang kereta itu.”
“Saya tetap tidak mau! Saya bekerja,
saya terima penghasilan!” gadis itu semakin ngotot, memaksakan dirinya, mencoba
professional terhadap pekerjaannya.
“Tak perlu repot-repot!” ungkap
lelaki tua agak kasar.
“Kalau begitu saya akan melaporkan
Bapak pada istri Bapak kalau Bapak telah memberi saya upah karena saya telah
melayani Bapak,” gadis itu mulai mengancam.
“Maksud adik?”
“Ya, saya akan bilang ke orang-orang
dan ketika istri bapak nanti datang saya akan bilang kalau bapak telah
memperdayakan saya. Lalu bapak mengupah saya!”
“Adik tidak bisa melakukan hal itu!
Saya tidak melakukan apa-apa terhadap adik.”
“Tapi saya ingin Bapak melakukannya!
Sekarang! Atau kalau tidak…..” nadanya setengah mengancam.
“Kalau tidak…?!”
“Nyawa Bapak ada di tangan saya.
Karir Bapak pun ada di tangan saya. Sebab saya tahu, Bapak ini siapa.”
“A..a..adik tahu saya?” Tanya lelaki
itu semakin gemetar.
“Ya. Akan kubocorkan seluruh rahasia
Bapak pada masyarakat,” ancamnya penuh dengan kemenangan.
Suasana di stasiun semakin ramai.
Orang berdesak-desakan mengantre karcis. Sedang kereta jurusan Yogya-Solo telah
bertandang datang. Itu berarti istri lelaki tua itu akan segera turun dari
kereta dan mendapatinya. Kalau lelaki itu tidak segera menyelesaikan duduk
perkara ini, maka masalah akan semakin bertambah panjang. Kalau lelaki itu
menuruti permintaan gadis ini, istrinya yang akan menjadi taruhan. Kalau tidak menurutinya,
karirnya juga yang akan menjadi taruhan. Bagai makan buah simalakama. Serba
salah.
“Bagaimana Bapak?” tanyanya manja.
“Baiklah, saya akan menuruti
kemauanmu,” keputusan lelaki itu kemudian..
“Kalau begitu mari ikut saya!” ajak
gadis itu sambil menggandeng lelaki tua itu dengan bangga.
Mereka berjalan meninggalkan peron
stasiun menuju tempat terkutuk. Sejam sudah mereka melakukan perjalanan. Lelaki
tua itu pun mulai kelelahan. Ia merasakan sensasi yang tiada batas. Sensasi
yang tak pernah ia temui dan dapatkan selama ini. Namun, ia segera tersadar, ia
telah hanyut dalam rayuan. Kemudian ia segera bangkit dari tempatnya. Ia
teringat akan istrinya. Istrinya pasti sedang menungginya di peron stasiun.
Lelaki itu bimbang. Perbuatannya tak boleh diketahui oleh istrinya, ia juga
harus memastikan bahwa gadis muda itu tak akan menjadi ancaman untuk karirnya
lagi.
Semenjak saat itu, gadis yang mengaku
binatang jalang itu tidak pernah lagi mondar-mandir di peron stasiun balapan,
tak pernah lagi menjajakan dirinya untuk dibeli. Ia lenyap ditelan kesadisan.
Ia sudah tidak bisa ditemui oleh siapa-siapa lagi. Ia telah menghilang
bersamaan hilangnya kehormatan. Babi yang dikuliti, katanya. Babi bunting telah
pergi.
Catatan:
Tulisan ini ditulis pada tanggal 23 April 2012, karena fikiran lagi buntu dan tak tahu harus menulis apa sedang dipaksa untuk menyetor tulisan. Jadilah tulisan yang seperti ini. Aku pun tak tahu apa yang telah aku tulis.
Maaf kalau ada kata-kata yang kasar dalam cerpen ini.