Labels: , ,

Pacaran Yook, Ukh!


“Pacaran yook, Ukh!”
“Deg!!!” jantungku tersentak kaget.
“Ukh…ayoo! Jawab!” ajaknya penuh dengan semangat. Matanya berbinar-binar, tangannya mengepal, senyumnya menawan membuatku tak tahan.
Aku hanya tergugu.
“Pa…pa…pacaran?” ucapku terbata.
Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Padahal yang aku tahu, ia paham bahwa pacaran itu dilarang. Setahuku, ia selalu menundukkan pandangan dan anti terhadap lawan jenis. Memandang saja tak berani apalagi sampai berdekat-dekatan. Sungguh kali ini aku benar-benar tak percaya, berani-beraninya ia mengajakku pacaran. Padahal ia pun tahu, aku tak pernah mau pacaran. Makanan apa sich pacaran itu? Bikin galau saja.
“Ukh, bagaimana?” tanyanya lagi.
“Ta…tapiii…pacaran itu kan zina. Mendekati zina saja tidak boleh masa’ pacaran?!”
Ia tersenyum lagi, kemudian bertanya,”Lho zina bagaimana tho, Ukh? Bukan pacaran dalam konteks itu Ukh. Tapi pacaran yang halal. Ukhti paham, kan?”
“Afwan, maksudnya…?” ujarku seolah berfikir panjang.
Aku hendak mengucap apa yang aku maksud dan mungkin yang ia maksud, tetapi ia langsung saja menyahut kalimatku dengan semangat yang menggebu.
“Iya, Ukh. Ayo! Mau ya?”
“Dengan siapa?” tanyaku agak ragu.
“Dengan saya, Ukh. Nanti kita bareng-bareng, ya?”
“Tidak, ah!!! Belum siap!”
“Kenapa belum siap?” tanyanya berkerut-kerut.
“Yaaa…belum siap aja,” jawabku asal. Sebenarnya menghindar darinya. Masa’ sama dia?
“Berarti Ukhti nolak?”
“Ya. Saya tidak mau. Cari yang lain saja!” balasku sewot.
“Owh…”
Wajahnya terlihat sangat kecewa ketika aku menolaknya. Sadis memang, tapi mau bagaimana lagi? Masa’ dengannya? Apa kata dunia??? Bisa runtuh nanti gedung-gedung pencakar langit, bisa kiamat. Walaaah, kan malah tambah ribet.
“Afwan, bukan maksud melukai. Tapi…,” ungkapku kemudian.
“Iya Ukh, tak mengapa. Terima kasih, ya,” jawabnya dengan lembut.
“Tapi saya akan tetap mencari pacar, Ukh. Tunggu ya!” lanjutnya dengan senyuman dan semangat.
“Iya…semoga segera menemukannya, ya!” doaku.
“Aamiin. Syukron. Saya pamit ya, Ukh?”
“Iya. Nanti kabar-kabar ya!”
“Insya’allah. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Tiga Hari Kemudian.
Tiga hari setelah dialog itu, ia menemuiku lagi. Kali ini ia terlihat begitu segar, ceria, dan seperti biasa selalu tampil energik dan semangat.
“Assalamu’alaikum,” sapanya sopan.
“Wa’alaikumsalam. Bagaimana?” tanyaku sok perhatian.
“Alhamdulillah udah. Ia cantik sekali, subhanallah.” Ia tersenyum sangat girang.
“Subhanallah, cepat sekali. Mana?”
Aku sungguh sangat penasaran. Secepat itukah ia menemukan penggantiku?
“Engkau pasti sangat iri dengan kecantikannya. Engkau pun juga pasti menyesal telah menolak kemarin,” ujarnya bangga.
“Halah! Paling juga cantikan aku. Paling-paling kamu juga masih mengharapkanku. Atau mungkin kamu sekarang berpura-pura telah mendapatkannya agar aku cemburu?” balasku acuh dan tanpa aturan.
“Sungguh, Ukh. Engkau pasti iri dan menyesal, bahkan kau akan menangis.”
“Huhft, tak percaya.”
“Ya sudah!!!” Ia mulai emosi.
“Ya sudah, mana kekasihmu itu? Mana?!”
“Kekasih???”
“Iya. Katanya mau pacaran dan sekarang kau telah menemukan pacar. Pacar berarti kekasih, kan?”
“Owalaaah, Ukh. Ukhti salah paham.”
“Salah paham bagaimana?”
“Yang tak maksud pacaran itu ini!” ujarnya sambil menunjukkan jari-jarinya yang lentik. Kuku-kuku jari-jarinya berwarna orange. Sungguh sangat indah dan menawan.
“Ooo…pacar, tho? Tak kiraaa…”
“Ukhti kira aku lesbi?”
“Haha…afwan, Ukh salah tangkep. Mahasiswa sekarangkan lagi masa galau apalagi kemarin-kemarinkan ada kajian Ustadz Faudzil Adzim,” kataku enteng.

3 comments:

Anonymous said...

Tulisan awalnya menarik.. Eh endingnya ternyata,,:-)

Anonymous said...

Awalnya menarik..
Endingnya ternyata..:-)

Novitasari Mustaqimatul Haliyah_DanZ said...

memang begitulah keadaan sesungguhnya. Maaf kalau mengecewakan.

 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters