Masih
ingatkah kalian dengan mainan yang menggunakan bantuan angin untuk
memainkannya?
Izinkanlah
saya menceritakan sedikit cerita tentang permainan itu.
Kamis,
3 April 2014, ba’da dzuhur ada yang mengubah fokusku. Dua bola bulat hitam dan
putih di kepalaku tertuju pada sosok laki-laki perkasa dan tangguh. Usia
laki-laki itu sekitar 80-an tahun. Ia masih dengan gagah mengayuh sepeda klasik
yang pada zaman dahulu disebut dengan pit jengky. Ia mengayuh sepedanya
mengelilingi kota Solo yang beraneka ragam suku bangsa dan agama. Sepedanya
melintasi gang-gang kecil di sudut-sudut kota.
Laki-laki
tua itu berusaha menjajakan hasil karyanya yang tak lagi dikenal. Pada zaman
gadged merebak hebat dan teknologi serba canggih dipamerkan di mana-mana. Pada
zaman game menjamur, baik game online ataupun offline, laki-laki renta itu
masih dengan teguh dan tulus melestarikan mainan nenek moyangnya, BALING-BALING
terbuat dari plastik dan Pring (Bambu).
Benda
yang tidak berharga bahkan dibuang-buang, di tangan kreatif si renta menjadi
benda yang mempunyai harga jual. Mainan tradisional yang telah terlupakan dan
bahkan telah punah. Namun laki-laki tua itu memberanikan diri menantang arus
modernisasi yang di dalamnya memuat dan membicarakan teknologi canggih dan
mendambakan hal yang bersifat dadakan atau instan.
Sebenarnya
bukan itu yang membuat fokusku berubah. Tetapi semangat bajanya melebihi anak
muda. Ia rela dan banting tulang mengayuh sepeda sepanjang hari untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Peluhnya menetes setetes demi setetes, kulit tangannya yang
mengelupas, kakinya yang mulai membengkak dan wajahnya yang keriput tidak
menunjukkan sedikitpun rasa putus asa. Ia juga tak menginginkan rasa belas
kasih dari orang-orang seperti peminta-minta dari rumah ke rumah.
Aku
takjub dan terkesima. Mungkin ia bisa menjadi seorang peminta-minta, tetapi
tekatnya bulat dan kokoh. Ia lebih memilih membanting tulang di usianya yang
renta untuk sesuap-dua suap nasi dari pada mengemis.
Subhanallah...
0 comments:
Post a Comment