"Menikah" adalah kata indah yang selalu merekah di dalam dadaku, sekarang ataupun dulu. Saat diri ini masih sendiri dan beberapa teman telah mulai mencoba dan berusaha menemukan jodohnya, hatiku ikut menggebu. Ada rasa galau yang bergelayut bahkan dalam tiap sholatku, aku meminta dengan linangan air mata dan dada bergerat, "Ya Allah, karuniakanlah kepada hamba suami sholih yang selalu mencintaiku, mencintai keluargaku, dan mencintai keluarganya dengan sangat karena-Mu. Segerakanlah pertemuan itu ya Allah."
Agak lama menanti. Ada beberapa lelaki yang hendak melamarku atau meminta taaruf padaku. Namun, entah mengapa hatiku tidak bergetar kala itu. Entah aku lupa atau sengaja melupakan doaku itu.Aku menolak mereka semua.
Kemudian, dua sahabatku menikah dengan tiba-tiba. Hatiku kembali menjadi galau. Aku teringat akan doaku itu kembali. "Ya Allah, segerakanlah hamba untuk menikah dengan calon yang terbaik yang Engkau pilihkan untukku."
Dan benar, Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Allah mengabulkan doaku dengan segera. Dua bulan setelah temanku menikah dan satu bulan setelah aku magang di Bogor, ada seorang lelaki yang melamarku. Ia membawa rombongannya ke rumahku. Membawa bapak, ibu, kakak, adik, dan keponakan-keponakannya ke rumahku.
Hingga kini, akhirnya resmi menjadi suami-istri pada pukul 08.00 WIB, 14 Desember 2014. Ya, sudah 2,5 tahun yang lalu aku menikah dengan seorang lelaki yang bernama Danang Muhtar Safi'i. Beginilah rasanya menikah, indah.
Tak kalah, sebutan sayang pun menghiasi hari-hariku. Mawar Ungu dan Kumbang Unyu. Itulah sebutan kami masing-masing. Semua orang juga sudah tahu, bahkan murid-muridnya di sekolah seringkali memanggilku dengan sebutan "Mawar Ungu" dan menyebut suami dengan sebutan "Kumbang Unyu". Unik memang. Geli kalau menyaksikan mereka, anak-anak mungil yang memanggil serempak dan berteriak ketika aku mengantar dan menjemput suami pulang kerja dengan sebutan Mawar Ungu dan Kumbang Unyu.
Perjalanan pernikahan tidak seindah yang dibayangkan. Tapi indahnya lebih dari yang dibayangkan. Berjuang bersama, berpeluh bersama, tertawa bersama, bahkan sering menangis bersama. Perjuangan tiada henti, hingga menapaki bara api dan duri-duri tajam dengan kebersamaan. Bersakit-sakit bersama, menitikkan airmata bersama.
Namun, semakin hari aku semakin mencintainya, menyayanginya. Dan terkadang cemburu menyeruak di dada. Yach, wajar, karena saya mencintainya, sangat.
"Ya Allah, jagalah suamiku tercinta. Wujudkanlah cita-citanya. Aamiin."