Oleh: Novitasari Mustaqimatul Haliyah
“Tik-tok-tik-tok”
Suara
itu bukanlah suara jam berdenting. Itu adalah suara takdir yang didentingkan
untuk suamiku. Jam dinding di ruang serba putih itu diam membisu. Menyimpan
sejuta tanya dalam setiap jarum detik miliknya.
“Tik-tok-tik-tok”
Bunyi
itu berdenting amat keras. Lelehan air mata orang-orang di sekitarku tak mampu membuat
airmataku berjatuhan. Ia terbendung kuat oleh kukuhnya egoisku dan
keangkuhanku. Mereka meronta kuat, lelehan itu merendam duniaku hingga dunia
tak ada yang tahu batinku terseret oleh derasnya lelehan airmata itu.
Namun,
aku tak tahu mengapa aku terjerembab jatuh. Sekujur tubuhku lemas tak berdaya. Perkataan
dokter Aldrian mengenai suamiku membuat airmata seluruh anggota keluargaku dan
keluarga suamiku meleleh, mengalir deras.
Hatiku
perih menahan luka yang mendalam. Suamiku orang yang baik, jujur, dan setia. Ia
selalu menyayangi keluarganya, keluargaku, dan keluarga kecilnya denganku.
Tutur katanya lembut penuh makna. Ia sangat mencintaiku.
Jam
dinding di ruangan persegi serba putih itu tak mau berhenti. Ia terus
memutarkan jarum-jarumnya. Aku hanya terpekur, terjerembab dalam penyesalan
tiada batas. Mengapa baru sekarang aku tersadar? Oh, langit pun ikut menangis
menambah suasana duka keluargaku. Air mata langit mengandung asam tinggi itu
terus berjatuhan. Mataku terus menatapnya tiada henti hingga membawakan
memoar-memoar indah saat aku bersamanya dulu.
Cinta
telah membutakan mata hatiku tentang kebaikan-kebaikannya padaku dan
keluargaku. Ragaku menikah dengannya, suamiku, yang akrab dipanggil Hasan. Tapi
jiwaku tak pernah menikahinya dan selalu mengelak. Pernikahanku dengan mas Hasan bukanlah pernikahan yang dilandaskan karena saling menyukai dan saling
mencintai. Pernikahanku dengan mas Hasan karena orang tuaku merasa berhutang
budi pada mas Hasan.
Mas Hasan adalah pengusaha kaos motivasi yang sukses. Kaos-kaos dari perusahannya
telah diekspor ke dua puluh tiga negara di Eropa dan Amerika. Ia pengusaha muda
yang sukses. Mas Hasan pernah mendapat penghargaan nasional sebagai pengusaha
muda inovatif tahun 2012, 2013, dan 2014 oleh presiden SBY.
Ia
pun seorang motivator dan penulis terkenal. Buku yang ditulisnya selalu menjadi
bestseller dan menjadi buku-buku favorit para akademisi di range teratas.
Sikapnya yang ramah kepada siapa saja membuatnya mendapat julukan “Supel Warm
Moslem”. Namun semua itu, tidak membuatku kagum padanya atau merasa bangga
telah menjadi istrinya.
Aku
tidak pernah mencintainya seperti ia mencintaiku dengan tulus. Aku hanya
mencintai dokter Aldrian, pacarku semasa aku kuliah di fakultas sastra. Aku
sangat mencintai dokter Aldrian bahkan hingga saat aku telah menikah dengan mas Hasan. Aku pun sering berkencan dengan dokter Aldrian di cafe favorit kami
dulu sewaktu kami masih kuliah di UNS.
Aku
sering membuatkan strawberry shot cake untuk dokter Aldrian. Saat suamiku
bertanya untuk siapa kue itu, aku selalu berbohong bahwa ada temanku yang
memesannya. Saat ulang tahun Aldrian, aku tak pernah lupa membawakan hadiah
sesuai dengan keinginannya disertai ucapan-ucapan mesra. Tapi tak pernah
sekalipun aku mengucapkannya pada mas Hasan.
Dalam
ingatanku, aku tidak pernah mengucap cinta pada mas Hasan. Tetapi mas Hasan
tidak pernah lupa mengucapkannya padaku. Mas Hasan selalu meneleponku dan aku
selalu malas mengangkatnya. Kadang pula, aku memarahinya karena hampir tiap jam
ponselku berdering oleh teleponnya bahkan ketika aku sedang berkencan dengan
Aldrian. Aku selalu merasa terganggu olehnya.
Aku
tidak pernah peduli saat ia sakit. Namun sebaliknya, saat aku sakit, mas Hasan
adalah orang paling khawatir terhadapku. Ia rela tidak masuk bekerja hanya
untuk menemaniku, melayaniku, dan merawatku. Pernah suatu ketika, ia harus
kehilangan investor besar untuk perusahaannya karena ia harus mengantarkanku ke
rumah sakit waktu aku lecet terserempet sepeda motor. Ia langsung berlari dan
memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi ke rumah temanku untuk menjemputku dan
meninggalkan investor itu.
Aku
malu mengingat semuanya. Aku malu belum bisa membalas semua cinta dan
pengorbanannya. Tanpa kusadari, bulir-bulir bening itu mengalir membasahi
wajahku dan menghapus make up yang kukenakan. Sesaat kemudian, aku sudah tidak
sadarkan diri. Hatiku berkecamuk, perih. Nanar menyaksikan semua skenario ini.
Dokter tengah berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Seluruh peralatan canggih
telah digunakan untuk menyelamatkannya nyawanya dari penyakit livernya yang hampir
tengah merenggut nyawanya.
“Oh,
Tuhan berilah aku kesempatan sekali lagi untuk bisa memberikan cintaku padanya.
Aku sadar ya Tuhan bahwa nyatanya diriku belum siap kehilangannya untuk selama-lamanya.
Tuhan, beri aku kesempatan sekali saja untuk mencintainya dalam hidupnya walau
hanya semenit waktu,” rontaku dalam tangisku.
Perlahan
dokter Aldrian membuka pintu ruang ICU. Aku langsung menyerobot dan menubruk
Aldrian. Jantungku berdetak kencang, sekujur tubuhku dingin, wajahku pucat
pasi.
“Bagaimana
keadaan mas Hasan?” tanyaku awut-awutan.
Aldrian
menatapku tajam, ia tersenyum padaku dan kemudian berpaling dariku.