Senyum Itu Tangisku

Riak-riak sungai memecahkan keheningan dalam hidupku namun tak cukup kuat untuk meramaikan hatiku. Aku terus menunggu dalam sepi. Berdiri sendiri di pojok hati yang merintih. Meski kini kau lihat aku ceria, tersenyum namun hakikatnya aku tersenyum dalam duka dan lara. Aku tak mau kau tahu bahwa dadaku merintih menggebu-gebu penuh duri. Sakiiiiiiiiiiit, berdarah-darah dan kini mulai membengkak karena tiada obat seperti layaknya betadin yang dapat mengobati. Luka itu kini sudah infeksi. Parah dan payah. Kau tak tahu kan? Ya, pasti kau tak akan pernah tahu dan kau pasti juga tak pernah mau tahu. 
Kau bilang kau sahabat. Kau bilang kita teman, yang bisa jadi tambatan. Kau bilang, kau sayang. Namun nyatanya apa? Kau belah dadaku, kau keluarkan hatiku, dan kau iris-iris lalu kau makan mentah-mentah. Kenapa kau ini? Apakah ini wujud rasa sayangmu? Kenapa kau pergi setelah kau koyak-koyak hatiku dan kau makan bagai kanibal? Apa ini wujud rasa persahabatan? Ini? Ini?
Kini mungkin aku masih bisa tersenyum di balik luka itu, di balik tangis itu. Kau tahu? Airmataku telah terkuras kala itu. Hingga kini...kering kerontang.

Senyum itu adalah tangisku.

2 comments

Luka Itu Masih Menganga

Aku tidak berharap kau membaca catatan kecil ini. Aku juga tidak berharap kau menghayati atau merasa empati. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang telah aku rasa selama ini. Rasa sakit yang aku pendam lebih dari setahun. Rasa sakit yang tak kunjung mereda. Aku masih tetap meronta di balik selimutku. Merintih merasakan sakitnya, menitikkan airmata agar tak ada satupun orang yang tahu bahwa aku menangis.
Aku tidak menyalahkanmu. Sungguh, tidak. Jadi kau tak perlu merasa bersalah. Bukankah ini kesalahanku sendiri yang tak pernah bisa menjaga hati? Aku terlalu bodoh untuk melakukannya. Kadang aku berfikir, kenapa dahulu aku memberikannya? Padahal aku tahu, kau tak halal bagiku. 
Padahal aku tahu kau adalah sosok laki-laki yang pikiran dan hatinya tetap laki-laki. Kau inginkan yang terbaik untukmu. Silahkan, aku tak akan menghalangi. Aku bahagia bila melihatmu bahagia, karena memang aku... aku... oh maaf tak pantas aku mengucapnya lagi. Dan aku tahu kau pasti juga jijik mendengarkannya.

Lukaku masih menganga sama seperti pertama kali kau katakan itu padaku. Rasanya perih tak terarah. Lukaku masih tetap menganga, tapi aku akan terus mencoba untuk melupa. Aku yakin suatu saat nanti perih dan sakit ini akan menjadi sesuatu yang lebih indah. Karena beginilah sesuatu yang lebih barokah.
Aku tahu, kau selalu mencari yang terbaik untukmu dan kehidupanmu kelak. Untuk itu, sekali lagi aku tak akan pernah menghalangimu. Capailah cita-citamu, dan biarkan saja lukaku tetap menganga. Jangan khawatir, Allah tidak akan pernah meninggalkanku walau kau jauh.

Doaku akan selalu menyertaimu. Semoga Allah juga senantiasa menjagamu. Mungkin cukup sampai di sini. Semoga engkau bahagia selalu. Selamat tinggal!

Aku tak akan menangis. Aku janji. Insya'Allah.

1 comments
 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters