Labels:

EMAS UNTUK EMAK

Mentari telah mulai beranjak pergi ke ufuk barat. Burung-burung cantik pun telah mulai pulang ke sarang masing-masing. Indahnya senja di pedesaan membuat segala lelah karena aktivitas di siang hari menguap entah kemana. Seperti sebuah kebudayaan, kebiasaan dan karakter, Ibu-ibu di Desa Butoluhung berkumpul di salah satu rumah warga untuk ngerumpi. Hal yang sangat melekat dengan seorang wanita.
“Wah, Bu. Gelangnya ngejreng sekali. Beli di mana? Bagus lho, iya kan ibu-ibu?” salah seorang dari mereka nyeletuk.
“Iya jelas bagus. Ini emas dari Ausi mas kawin dari mas Gondrong,” jawab Ibu Mila sombong.
“Ausi? Di mana itu?” tanya ibu-ibu tadi mengerutkan dahi.
“Australia. Itu lho Ibu-ibu negeri kanguru. Baguskan?” balas Ibu Mila tambah congkak.
“Ya tentu bagus. Gak kaya mas kawinnya Ibu Khasanah. Emas imitasi. Hahahahahaha,” suara itu bagai petir menyambar-nyambar hatiku.
Aku tidak tahan lagi mendengar percakapan mereka yang hanya menyombongkan kekayaan, perhiasan, dan sebagainya. Dengan langkah gontai karena terlalu lelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, aku meninggalkan wanita-wanita glamour itu. Pedas sekali perkataan mereka. Aku tahu Emak juga menginginkan perhiasan seperti itu. Ingin sekali menghadiahkan perhiasan-perhiasan seperti itu untuk Emak. Tapi apa daya? Aku hanyalah seorang anak kecil yang hanya bisa mengemis pada orang tua. Suatu saat. Ya suatu saat aku akan hadiahkan emas terindah utuk Emak. Itu janjiku.
Segala lelah, kesal, sedih telah menguap ketika kubersua dengan Emak yang berwajah teduh nan cantik. Meski, keriput telah menghias di urat-urat wajah.  Bagiku, Emak tetap yang tercantik. Meski hanya bedak murahan yang ia pakai, bagiku Emak bercahaya.
“Assalamu’alaikum,” sapaku senang bisa bertemu Emak.
Dengan senyuman terbaiknya, Emak membalas salamku dengan ikhlas. Suaranya terdengar khas, merdu, menyejukkan hati. Tidak seperti ibu-ibu tadi. Huh, menyebalkan. Tapi, Emak tidak seperti biasanya. Mata Emak terlihat merah seperti habis menangis.
“Emak! Emak kenapa? Kok menangis?” tanyaku ingin tahu kenapa Emak menangis.
“Menangis? Tidak kok Sayang. Emak tadi habis nyapu terus kena debu. Kelilipan. Mata Emak merah ya?” jawab Emak, tersenyum tipis.
“Oooooo,” balasku ber-Ooo ria, membuat Emak lega.
Tanpa basa-basi lagi aku ngeloyor ke kamar mandi, mensucikan diri. Mengguyurkan air keseluruh tubuh agar kotoran-kotoran yang ada di badan larut bersama aliran air. Lama berada di kamar mandi, pikiranku melayang. Entah apa yang aku pikirkan, aku tak tahu. Yang aku tahu, aku sedang memikirkan Emak. Aku mengkhawatirkan Emak. Setiap hari Emak selalu diejek ibu-ibu tadi. Karena tidak punya emas. Setahuku setahun yang lalu Emak memiliki barang-barang itu tapi, karena Bapak pergi meninggalkan kami untuk orang lain semuanya menguap, menyublim tanpa sisa. Kasian Emak. Sudah kehilangan semua, selalu diejek dan harus mengurusku, membiayaiku seorang diri tanpa seorang suami.
“Sayaaaaang! Mandinya jangan lama-lama! Nanti masuk angin lho,” suara Emak menghamburkan pikiranku.
“Iiiiyaaaa, Maaak!” balasku lantang terdengar seantero pekarangan rumah yang lebih layak di sebut gubuk ini.
Aku pun langsung menyelesaikan mandiku dan bergegas menyiapkan jadwal untuk esok hari sebelum adzan maghrib dikumandangkan. Setelah selesai, tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang, menyeru-nyeru syahdu. Aku dan Emak bergegas mengambil air wudhu lantas kami berdua berjalan beriringan menuju mushola yang tak jauh dari rumah. Kira-kira jaraknya sekitar 200 meter.
Seusai sholat maghrib, seperti biasa akan diadakan pengajian ibu-ibu dan seperti biasa pula aku ngintik Emak mengikuti pengajian itu. Sembari menunggu Ustadz Rahman, Ibu-ibu itu itu kembali berkutat dengan kebiasaan buruk mereka ‘ngerumpi.’
“Bu Khasanah! Sebentar lagikan acara perkawinannya ustadz Rahman. Mau pake perhiasan apa?” tanya Ibu Wisnu setengah menyindir.
“Halah, Ibu Wisnu ini sok perhatian. Tanya soal perhiasan kok ke Ibu Khasanah. Mana punya? Paling-paling nanti pake perhiasan imitasi lagi. Emas kan mahal. Sekarang segramnya kan hampir Rp. 70.000,00. Mana mampu Ibu Khasanah itu beli?” cela Ibu Mila.
Emak hanya cengar-cengir, tersenyu getir mendengar celaan itu. Emak lebih bisa bersabar dengan itu semua, mungkin Emak sudah kebal dengan celaan, cacian dan hinaan yang terus menghujam setiap hari. Tapi aku tidak seperti Emak. Aku marah Emak di cela dan dihina. Aku muak dengan semua itu. Mendidih sudah ubun-ubunku. Dan dengan berani aku teriak pada Ibu-ibu itu.
“Jangan hina Emak!” teriakku keras membuat seisi mushala terkejut.
“Menghina Ibumu? Tidak Anak kecil. Ini kenyataan,” balas Ibu Mila sangat angkuh dan congkak. Gayanya sudah seperti ratu dunia. Sok paling cantik dan paling hebat.
“Kau telah menghina Emak! Apa salah Emak sampai kalian selalu menghinanya? Apakah kalian lebih hebat dari Emakku? Hah!” teriakku kembali, membuat seisi mushala berkerumpul melihat keramaian bak melihat opera wayang gratis.
“Sudah sayang! Sudah!” Emak merangkulku penuh kasih sayang.
“Hei anak ingusan! Aku memang lebih hebat dari Emakmu itu! Aku lebih cantik, lebih kaya dan lebih lebiiih lebiiiiiih segala-galanya disbanding Emakmu itu!”
Aku ingin membalas penghinaan itu. Tapi Emak yang penyabar telah menyeretku pergi keluar mushala.
“Mak! Ais, ingin membalas orang itu, Mak. Orang yang terus-terusan menghina Emak. Ais tidak tahan, Mak. Kuping Ais sudah terlalu memerah mendengar semua cicitannya. Biarkan Ais melakukannya, Mak!” kataku parau, berhamburan sudah airmataku.
“Ais sayaang! Sudahlah! Jangan biarkan kemarahan dan kebencian menyelimuti hatimu! Jangan balas cacian, hinaan dengan hal yang sama. Kalau Ais sampai melakukan hal yang sama, apa bedanya Ais sama mereka?” kata-kata bijak Emak seolah bagai air terjun yang menyejukkan. Menyiram bagian hatiku yang sempat membara.
“Mak, Ais janji. Ais janji, Ais akan memberikan emas yang terindah untuk Emak. Ais janji akan membuat mereka malu dan menarik perkataan mereka,” janjiku pada Emak akan aku tepati entah bagaimana caranya nanti.
5 TAHUN KEMUDIAN
5 tahun adalah waktu yang cukup lama. Apalagi waktu-waktu itu kulalui tanpa teman. Warga kampong yang tamak dan mudah terpedaya oleh harta telah menyiksa hidupku dan Emak. Kalian tahu bagaimana kerasnya hidupku selama 5 tahun ini? Kalian tahu?
Selama ini aku harus hidup sendiri. Menghidupi hidupku sendiri, membiayai sekolah sendiri. Ini semua karena mereka yang mudah tergiur oleh harta dan pangkat. Kalian ingat tentang Ibu Mila? Suaminya adalah DPRD Kota Rekosone. Ibu Mila menghasut warga kampong untuk melakukan hal ini padaku dan Emak dengan iming-iming harta dan pangkat. Sungguh sangat kejam. Kejam sekali membuat hidupku dan Emak merana.
Hari ini tepat tanggal 23 Juli 2011, aku berlari menuju sebuah gubuk reot di pinggir sawah. Aku berlari dengan sangat bangga. Aku berlari, berlari, berlari. Tak menghiraukan terik matahari membakar kulit, tak peduli tanah yang becek selepas hujan tadi malam mengenai seragam sekolahku. Aku terus berlari dengan membawa sesuatu.
Aku berteriak memanggil,” Emaaaaaaaaaaaak! Aku tepati janjikuuu. Emaaaak, tunggu anakmu!”
Aku semakin mendekati gubuk itu. Aku terus berlari. Tak sabar aku ingin menunjukkan ini pada Emak. Aku sungguh mempersembahkannya pada Emak.
Akhirnya aku sampai di mulut gubuk itu. Aku tercengang ketika melihat di dalamnya. Aku tercengang. Hatiku sekan tak percaya dan tak pernah mau menerima ini semua. Aku tak akan pernah terima. Saat itu, bulir bening ini kembali membasahi pipiku.
“EMAAAAAAAK!” teriakku sambil terisak.
Tak ada jawaban dari Emak. Emak hanya diam membisu.
“Emaak! Ais… Ais bawa ini untuk Emak. Emak! Lihatlah! Katakana sesuatu untuk Ais, Maaak!” ujarku masih terisak. Tertunduk, terjerembab di pangkuan Emak yang terpasung.
Masih tidak ada jawaban. Tak ada suara yang keluar dari Emak. Yang ada hanyalah suara hembusan angin. Yang terdengar hanyalah suara deburan air sungai.
“Emaaak! Jawab Ais, Mak! Ais, Ais menang, Mak! Ais Menang! Dan medali emas ini untuk Emak. Ais persembahkan untuk Emak. Ngomong, Maaak!”
Lagi-lagi tak ada jawaban. Bahkan tubuh Emak tak bergeming sedikitpun. Emak mungkin sedang tertidur. Mungkin Emak sangat mengantuk. Biarlah Emak istirahat sejenak.
Emak, medali emas ini Ais persembahkan untukmu, Mak. Ais memang belum bisa memberikan perhiasan berupa kalung emas, gelang, cin-cin ataupun anting emas untuk Emak. Ais hanya bisa memberikan medali ini untuk Emak. Mungkin Emak tidak akan pernah melihat, mendengar, merasakan. Tapi sungguh, medali ini untuk Emak. Selamat jalan, Emak!



0 comments
Labels:

Sayap-Sayap Kedengkian

“UI? Kamu mau kuliah disana? Buat apa kuliah jauh-jauh? Buat apa jadi sarjana? Ujung-ujungnya paling jadi pengangguran,” ungkap tetangga Aisyah melengking bagai petir menyambar.
“Saya ingin mencapai cita-cita saya menjadi dosen dan penulis produktif, Bu. Saya yakin asal ada kemauan pasti Allah memberi jalan,” balas Aisyah menahan rasa perih menyayat-nyayat di dada.
Halah, sok pinter,” cibir tetangga Aisyah sembari berjalan meninggalkan Aisyah dengan perasaan iri.
Aisyah pun tak kuasa menahan airmatanya. Berlelehan sudah. Setiap hari dirinya dicibir, disindir, dihina, dan dicaci oleh para tetangganya yang dengki melihat sosok Aisyah yang gigih dan teguh mencapai cita-citanya. Mereka iri kalau suatu saat nanti Aisyah menjadi seorang yang sukses.
“Sudahlah, Nak! Biarkan mereka ngomong apapun yang mereka suka. Jangan dimasukkan ke hati. Tetaplah teguh dengan cita-citamu. Ibu yakin asalkan kamu sungguh-sungguh, Allah pasti memberikan pertolongan untukmu. Sudah! Istirahat sana, besok kan berangkat ke Jakarta,” nasihat Ibu Afifah, Ibu Aisyah menenangkan, menyejukkan qalbu.
Keesokan harinya Aisyah kembali disibukkan dengan cercaan para tetangganya yang dengki. Lagi-lagi tetangga Aisyah membuat onar dengan perkataan-perkataan yang menjatuhkan mental. Mereka seakan tidak suka dengan apapun yang dikerjakan oleh Aisyah dan keluarga. Namun, mereka sok peduli menasihati Aisyah maupun ibu Aisyah. Padahal, nasihat-nasihat mereka menjerumuskan.
“Syah, Aisyah! Kamu itu lebih baik kursus saja atau kerja di Pabrik. Kasihan Ibu, Bapak, adik-adikmu. Kuliah kan mahal. Buang-buang uang saja, belum tentu nanti dapet pekerjaan. Liat tuh banyak di tivi-tivi sarjana jadi pengangguran. Kuliah itu tidak berguna,” nasihat Ibu Susini, nasihat omong kosong.
Aisyah benar-benar geram. Di hari keberangkatannya, masih saja ada orang yang memberinya nasihat yang menyesatkan, memojokkan. Untung, Aisyah bukanlah tipe orang yang mudah menyerah dan mudah goyah. Hatinya seakan-akan sudah mengeras, tahan banting terhadap perkataan orang-orang di sekelilingnya. Subhanallah. Aisyah memang sosok yang tangguh.
“Aisyah berangkat ya Pak, Bu, Dik. Assalamu’alaikum,” pamit Aisyah, tersenyum lebar membuat tetangga-tetangganya semakin risau.
Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Nak!”
Aisyah pun melambaikan tangan dan menyeka airmata penuh  bahagia juga duka. Bahagia karena cita-citanya telah di depan mata, duka karena harus meninggalkan keluarga tercinta di tengah lingkungan yang selalu risau apabila mendengar kebahagiaan keluarganya.
1 TAHUN KEMUDIAN
“Paaak! Buuu!” seru Erina, berlarian sambil membawa amplop kecil. Membuat para tetangga tercengang, kaget.
“Ada apa tho kok lari-lari? Itu amplop apa?” tanya Pak Waluyo, Ayah kandung Aisyah.
“Ini, Pak. Surat dari kak Aisyah,” jelas Erina masih tersungut-sungut lelah berlarian dari kelurahan.
“Buuu! Buuu! Ada surat dari Aisyah!” seru Pak Waluyo membuat para tetangga berdatangan ingin tahu apa isi surat itu.
“Cepet buka, Pak!” suruh Bu Afifah tidak sabaran.
Surat pun dibuka. Dan dibacakan di depan orang banyak.
“Assalamu’alaikum. Pak, Bu, Dik! Apa kabar? Semoga dalam perlindungan Allah SWT. Aisyah di Jakarta baik-baik saja kok. Berkat doa keluarga Alhamdulillah Allah selalu melindungi Aisyah. Pak, Bu, Dik, kakak kirimkan ini untuk keluarga di sana. Alhamdulillah Aisyah diberi rezeki oleh Allah. Ini cek sebesar Rp 5.000.000,00. Semoga bermanfaat. Aisyah rindu keluarga. Rindu Bapak, Ibu, Adik-adik. Maafkan Aisyah, Aisyah harus undur diri. Doakan Aisyah ya Pak, Bu, Dik. Doa Aisyah menyertai kalian. Wassalamu’alaikum.”
Mendengar isi surat itu hati para tetangga Aisyah panas membara, marah, tak suka. Dan mulailah kalimat hinaan itu bermunculan.
“Uang dari mana itu, Bu? Jangan-jangan hasil jadi wanita simpanan di Jakarta. Hati-hati lho, Bu uang haram,” begitulah hati orang yang tidak senang terhadap kebahagiaan orang lain.
Astaghfirullah. Aisyah tidak mungkin seperti itu, Bu. Ibu-ibu tidak suka dengan kesuksesan Aisyah? Kalau memang begitu Ibu-ibu sebaiknya pulang saja! Saya tidak suka mendengar celotehan ibu-ibu yang kotor,” balas Pak Waluyo dengan nada tinggi, marah. Betapa tidak, anak kandungnya di hina. Orang tua mana yang rela anaknya di hina?
Mulai sejak itu, tersebar rumor di kalangan masyarakat desa tempat tinggal keluarga Aisyah bahwa Aisyah di Jakarta bukanlah untuk kuliah tetapi, mencari uang dengan jalan menjadi simpanan orang. Rumor itu semakin kuat, semakin hari semakin menyebar luas seiring dengan uang kiriman dari Aisyah yang jumlahnya tak sedikit setiap bulan.
Tiga tahun rumor itu terus berjalan tiada henti bagai air mengalir. Sampai suatu ketika Aisyah kembali ke kampung halamannya, ia sungguh kaget dengan perubahan sikap para pemuda di kampungnya. Yang dulunya sangat menghormati Aisyah, yang selalu mengagumi Aisyah sebagai tokoh yang islami, sebagai ustadzah ngaji TPA kini mereka berani menggoda Aisyah.
“Hei, Jupe sexy! Gimana dengan om-om itu? Dibayar berapa sama om-om itu?” goda salah satu pemuda.
Aisyah yang digoda tidak merasa. Tidak menegok apalagi menggubris.
“Hai, Aisyah! Songong amat, sih?! Di Jakarta aja bisa ngelayani om-om, di sini mau sok alim loe? Kita-kita udah tau kali,” ungkap Pemuda itu membuat Aisyah bingung.
“Maaf. Maksudnya apa ya?” tanya Aisyah penasaran, di kepalanya muncul beribu-ribu tanda tanya.
Halah, jangan sok blo’on!” sahut gerombolan ibu-ibu dari balik semak-semak.
Ternyata mereka telah merencanakan ini semua.
“Sungguh, saya tidak tahu-menahu tentang persoalan ini,” dengan polos Aisyah berkata demikian.
Halah, ayo lakukan saja Ibu-Ibu!” isyarat seorang ibu untuk menghujam dan menghukum Aisyah.
“Buuk! Buuuk! Buuuk! Buuuk!” suara itu membuat Aisyah tak sadarkan diri.
“Ayo pukul! Terus pukul! Wanita sok alim ini telah membawa aib kampong kita! ayo pukuuul! Pukul teruuus!” sorak para penonton bak mengadi ayam jago mereka di peraduan.
Ibu-ibu dan para pemuda telah main hakim sendiri. Mereka memukuli Aisyah dengan bengis, dengan kedengkian menahun yang telah menjadi karakter mereka sejak Aisyah dilahirkan.
Tiba-tiba ada seorang pemuda dan dua orang wanita turun dari sebuah mobil mewah. Mereka semua menghentikan aksi brutal itu.
“HEI-HEI…BERHENTIIII! BERHENTI IBU-IBUUUU!” teriak Pemuda yang bernama Rafi’, Seorang penulis handal abad ini.
Dua orang wanita yang besama Rafi’ berlarian menuju arah Aisyah yang tak sadarkan diri. Mereka menangis. Dan semua orang yang berada di situ tercengang. Betapa tidak? Artis yang selama ini mereka elu-elukan kini berada dihadapannya.
“Mbak Neiri? Mbak Muna? Kalian artis film ‘Cinta Berkalung Mutiara’ itu kan?” Sahut salah seorang pemudi, girang.
“DIAM!” Bentak Muna, salah satu artis film ‘Cinta Berkalung Mutiara.’
“LIAT ULAH KALIAN SEMUA! Kalian telah mencelakakan teman kami,” Kata Rafi’ marah, emosi.
“Itu akibat ulah dia sendiri. Kami malu punya tetangga seperti Dia! Dia Pelacur! Bagaimana pula ia mengirimkan uang setiap bulan dengan jumlah yang sangat banyak padahal ia sendiri kuliah?” jawab salah seorang pemuda tak kalah emosi dari Rafi’.
Astaghfirullah. Tidakkah kalian tahu siapa Dia?! Dia Aisyah Modern. Ia penulis buku ‘Cinta Berkalung Mutiara’ yang kalian elu-elukan selama ini. Pantas saja setiap bulan Ia mengirim uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Setiap dua minggu bukunya terjual 24.000 eksemplar. Ditambah lagi, bukunya difilmkan. Liat ulah kalian! Ia mendapat hukuman yang seharusnya tidak Ia terima. Betapa kejamnya kalian semua. Apa kalian iri dengan kesuksesan yang Ia raih?! Kedengkian macam apa itu? Ingat! Dengki itu ibarat api yang melahap kayu bakar! Amal kalian akan terhapuskan! Jadi jangan sekali-kali ada dengki di hati kalian semua!” Jelas Rafi’ mendiamkan mereka. Mereka tertunduk, membisu.
Sungguh perbuatan mereka diluar batas kewajaran. Menghukum seseorang yang tak seharusnya dihukum hanya lantaran sifat dengki dan iri yang mengendap dihati mereka. Kini setelah mengetahui kebenaran itu, mereka merasa sangat malu. Dan akibat ulah mereka yang sewena-wena, Aisyah harus di rawat di ruang ICU.


0 comments
 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters