Setiap
pribadi pasti mempunyai asa, harapan, dan cita-cita masing-masing. Cita-cita
yang terus membuat kita bergerak untuk sebuah kemajuan keluarga, agama, nusa
dan bangsa.
Orang
yang memiliki cita-cita yang kuat pastilah sekuat tenaga akan dikejar sampai
dapat dalam genggaman. Walau halang rintang menghadang di hadapan bertubi-tubi.
Setiap
rumah tangga juga mempunyai visi-misi ke depan. Visi-misi untuk mewujudkan
cita-cita yang tersimpan dalam dada dan fikiran.
Aku dan
suamiku pun mempunyainya. Tidak hanya satu tetapi sangat banyak. Salah satunya
adalah membentuk masyarakat intelektual, membentuk dan mencetak cendikiawan
muslim.
Walaupun
terlambat lulus dan sakit yang menggerogoti tubuh, saya berusaha untuk lulus
S-1 dan berjanji tidak akan pernah mau berhenti belajar. Belajar apapun untuk
bekal saya membentuk impian saya.
Walau
tertatih, saya selalu berkata kepada suami agar terus belajar dan melanjutkan
kuliah. Saat ini, suami sedang menempuh pendidikan S-2. Yach, meski tertatih
dan harus berlinang air mata karena selalu dihina.
Orang-orang
terdekat kami justru menjadi penghalang impian kami. Hinaan, cacian,
olok-olokan selalu dilemparkan ke telinga kami tiap hari.
Mereka
selalu berkata,”Buat apa sekolah tinggi, toh tidak berguna. Hutang menumpuk
untuk membayar. Tidak bisa mensejahterakan keluarga.”
Kami
sudah kebal dengan kata-kata hinaan itu. Rasa sakit di dada berubah menjadi
motivasi. Hinaan, cacian, dan olok-olokan itu berguna sebagai perisai saat kami
surut semangat.
Ya
memang saya akui, saat ini ilmu yang kami dapat di bangku kuliah belum berguna
seutuhnya. Memang kami akui, ilmu yang kami peroleh belum berguna untuk
mendatangkan uang berlimpah.
Namun,
bukan itu tujuan utama kami dalam menuntut ilmu. Kami ingin jadi insan
bermanfaat untuk nusa dan bangsa lewat ilmu, bukan lewat uang. Bagi kami uang adalah bonus saja dan bukan
satu-satunya tujuan utama.
Pemikiran
sukses di benak kami dan benak saudara-saudara kami berbeda. Mereka menilai
sukses itu hanya sebatas uang, harta, dan tahta. Dalam benak mereka, sukses berarti
memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan uang berlimpah. Mereka tidak salah. Tetapi,
pemikiran sukses di benak mereka dan di benak kami berbeda.
Menurut
saya dan suami, sukses itu saat kita bisa menjadi orang yang paling bermanfaat
di dunia. Bisa mewujudkan cita-cita dan bermanfaat untuk sesama. Memajukan
masyarakat bersama bukan hanya memajukan kantong pribadi.
Ah,
kami akan terus mengejar cita-cita itu walau harus berdarah-darah, walau harus
terus terluka di dada karena lisan-lisan itu. Kami ingin menjadi pasangan
sukses dunia-akhirat. Tidak hanya berorientasi pada dunia saja tetapi orientasi
kebermanfaatan karena Allah semata, terutama di bidang pendidikan.