Labels: ,

CINTA DALAM CINTA


“Telah kupetik setangkai bunga di dalam dunia ini
Sebagai penghias yang mulia dan mewangi
Fithrahmu membawa ketenangan, memberikan kedamaian
Fithrahmu membawa ketentraman, memberikan kesejukan
Oh Tuhan, kutelah penuhi sebuah janji

Cintaku padamu karenaNya
Rinduku padamu karenaNya
Sayangku padamu karenaNya
Hidupku denganmu karenaNya

Tuhan, kau telah berikan dia untukku
Tuhan, semaikanlah cinta ini di dalam cintaMu
Oh Tuhanku, ku bersyukur padaMu
Duhai adikku, mari bersama kita arungi perjalanan hidup ini
Demi menggapai kemuliaan di dalam perjuangan ini
Hidup ini adalah perjuangan yang penuh dengan pengorbanan
Temanilah daku
Temanilah daku
Temanilah daku, duhai adikku”

Baiklah Kumbang Unyuku, Adik akan selalu menemanimu dalam suka maupun dukamu. Adik akan selalu setia membersamaimu dan melayanimu.

Mari semaikan cinta kita lewat kata dan laku agung menuju ridho Illahi. Mari bersama bergandengan tangan dan melangkah bersama dalam bahtera bernama cinta suci. Kutahu Kekasih, dirimu mencintaiku dan akupun begitu.

Selalu kupanjatkan pada Sang Illahi, semoga cinta kita abadi hingga ke Surga-Nya.
Masihkah engkau ingat Kumbang Unyuku, indahnya lagu ini? Lagu kenangan awal kita berjumpa. Aku selalu tersenyum tatkala mendengarkannya. Hati berbunga-bunga, jiwa pun ikut menggebu lebih mencintaimu dan sangat mencintaimu.

Ah, dahulu kala Adik senantiasa mengkhayal tentang pangeran tampan. Dan nyatanya, pangeran tampan itu adalah dirimu, Kumbang Unyuku-Mas Danang Muchtar Syafi'i. Kelembutan dan senyumanmu membuatku "klepek-klepek" apalagi rayuanmu. Rupanya, engkau sangat tahu kegemaran wanita, yaitu kata-kata manis dan yang menggetarkan qalbu.

Tiap hari pun aku mendengarkannya dari lisanmu bahkan di pernikahan kita yang tidak lagi muda ini. Terima kasih, Kekasihku. Kata cinta yang senantiasa engkau lantunkan untukku membuat jantungku berdebar kencang dan aku bahagia dan semakin bahagia.

Oh, Suamiku...
I LOVE YOU SO MUCH
<3

0 comments
Labels: ,

Kampanye Membaca Buku



Danang Muchtar Syafi’i
(Mahasiswa Pascasarjana Magister Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Guru MIM Inovatif Gonilan)

Belum lama ini ada fenomena menarik perhatian publik. Fenomena itu adalah, Presiden Joko Widodo di sela-sela kunjungan kerjanya sempat meluangkan waktunya untuk membeli buku di satu Toko Buku di Maluku City Mall, Kota Ambon (8/2).
Aktivitas berbuku diulangi lagi. Pada Minggu (19/2/2017) siang, Presiden Jokowi mengunjungi toko buku di Mall Senayan City untuk mencari buku yang dirasa pas untuk dibagikan kepada anak-anak karena minat membaca anak-anak Indonesia harus ditingkatkan.
"Tadi di Senayan beli buku Bung Hatta dan Bung Karno, juga buku cerita rakyat Nusantara. Bisa untuk anak-anak waktu kunjungan ke daerah”, tulis Presiden Jokowi lewat akun Twitter-nya@Jokowi, Minggu malam.
Apresiasi tinggi pantas diberikan terhadap manifestasi “kampanye berbuku” tersebut. Maksud kampanye berbuku ialah mendakwahkan budaya membaca kepada khalayak untuk bersama-sama membangun peradaban bangsa melalui budaya literer.
Dalam pembacaan saya sebagai guru, Presiden Jokowi seolah ingin menunjukkan bahwa Gerakan Literasi Sekolah yang tengah digerakkan pemerintah bukanlah sekadar omong kosong, atau pencitraan politik semata tanpa dijalankan.
Fenomena kampanye membaca buku tersebut muncul pada momentum program Gerakan Literasi Sekolah yang digerakkan Mendikbud pada waktu belakangan ini. Artinya, kampanye berbuku telah diniati menjadi program sistemik yang digalakkan pemerintah.
Kampanye berbuku Presiden Jokowi menjadi seruan kepada para guru dan siswa agar gemar membaca buku. Sebab, sekolah tanpa membentuk siswa gemar membaca merupakan suatu kegagalan dalam visi, misi dan tujuannya.
Buku adalah “ruh” pendidikan yang menginspirasi amalan berkemajuan. Dengan aktivitas berbuku, misalnya, maraknya peredaran kabar fitnah dan bohong (hoax) dapat dicegah.
Maka dari itu, kini pemerintah menggarap program kerja gerakan literasi sebagai kebijakan prioritas untuk menumbuhkan nalar kritisisme siswa. Kebijakan yang dinantikan, misalnya, mempertimbangkan usulan adanya hari khusus membaca buku, majalah, dan media berkualitas di sekolah.
  
Inovatif
Ada rasa antusiasme yang muncul dalam menyambut wacana “merayakan” berbuku itu. Saya pikir bukan saya seorang yang akan antusias menjalankannya. Evy Sofia dan Setyaningsih pun pasti juga akan lebih bersemangat merayakan literasi bersama siswa.
Dalam esai keduanya yang dimuat Solopos edisi 8 dan 10 Februari 2017, Evy dan Setyaningsih memperlihatkan eksistensinya sebagai guru yang mengampanyekan program literasi di sekolah dengan agenda inovatif.
Kita optimistis para pendidik bisa berperan menjadi “mata air” peradaban keilmuan apabila senantiasa menggarap kerja inovasi literasi di sekolah. Kerja budaya kreatif menjadi keniscayaan tersendiri dalam menggerakkan budaya literer yang menyenangkan.
Muhidin M. Dahlan (2008) menasihati kepada para pemangku buku, kutu buku, guru dan aktivis buku lainnya untuk tidak memaksa orang gemar membaca buku. Gerakan pemaksaan literer merupakan suatu tindakan yang angkuh dan sombong.
Semangat mendakwahkan gerakan budaya literer jangan sampai melupakan kondisi kebudayaan masyarakat kita yang suka dengan budaya tontonan daripada budaya mendaras buku, apalagi diminta untuk membeli buku.
Rajawali Indonesia Communication bekerjasama dengan Kampung Buku Jogja telah menyelenggarakan Festival MocoSik pada 12 hingga 14 Februari 2017 di Jogja Expo Center, Jogjakarta. MocoSik adalah akronim dari “Moco” (Jawa: baca) dan “Sik” (musik).
Festival bertajuk Membaca Musik, Menyanyikan Buku itu adalah yang pertama digelar dengan menjadikan buku sebagai tiket masuk menonton konser musik. Festival MocoSik merupakan ihwal mendialogkan dua modus budaya kreatif dalam sebuah rekayasa manajemen kegiatan inovatif.
Seperti lembaga dan komunitas literasi di atas, sekolah juga dituntut mengampanyekan budaya literer kepada siswa dengan konsep penyelenggaraan yang inovatif. Dengan begitu, kampanye gerakan literasi punya daya menghibur lantaran hidup dalam kegairahan dan kreativitasnya.
Subtansi esai Evy Sofia yang berjudul Memanjakan Pembaca dan esai Setyaningsih yang berjudul Jangan Jadi Pembaca Manja dapat mendorong guru lainnya untuk berlomba-lomba dalam memajukan sekolah melalui perayaan rutinitas agenda literasi yang inovatif.
Evy Sofia mengusulkan kegiatan literasi sekolah sebaiknya dapat bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah. Dengan suatu kerja sama yang terjalin diharapkan akan menciptakan inovasi kampanye berbuku yang bermutu.
Program Ayo Membaca yang digerakkan Harian Solopos bersama sekolah Soloraya telah menciptakan ide-ide kegiatan yang menarik sehingga para guru dan siswa dapat melakukan agenda membaca media dengan mengasyikkan.
Sementara, inovasi agenda literasi yang dilakukan Setyaningsih termanifestasikan melalui strateginya dalam menyeru siswa berbudaya literer. Hadiah berupa buku diberikan kepada siswa yang tulisannya dinilai paling menarik.
Saya juga pernah melakukan contoh strategi program literasi inovatif di (Ruang Laboratorium Literasi dan Budi Pekerti) sekolah. Teknisnya berupa penggabungan aktivitas menonton film dan membaca buku dengan tema yang berkaitan untuk menghasilkan sebuah hikmah yang menggugah.

Tantangan
Aktivitas inovasi literasi di sekolah sebagai wujud kreativitas para pendidik untuk mengamalkan perintah “Bacalah!”. Namun, berbagai tantangan kekinian akan menguji seberapa tangguh garapan inovasi program literasi sekolah dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Internalisasi kesalehan yang dilakukan sekolah jarang –jika tidak boleh disebut kosong– memuat pengamalan literer. Konsentrasi sekolah dalam menerapkan tata nilai budaya sekolah hanya “jalan di tempat” pada internalisasi kesalehan ritual.
Belum lama ini saya mengumpulkan karya ilmiah yang bertemakan internalisasi nilai-nilai keagamaan di sekolah sebagai kajian rencana tesis. Usaha penghayatan dan pelaksanaan kesalehan di sekolah kerap tidak menyertakan kajian keilmuan yang berkemajuan.
Kita jarang melihat sekolah memiliki agenda literasi yang terkoneksi aktif dengan wali siswa. Jadi, janganlah jumawa dulu menyalahkan orangtua dengan mengatakan wali siswa pasif mendidik anak.
Bisa jadi orangtua siswa menyimpan peran yang jauh lebih besar ketimbang sekolah dalam membangun tradisi keilmuan dan kesalehan siswa. Sekolah perlu bertekad untuk mengampanyekan budaya literasi di sekolah dengan menjalin hubungan intensif dengan masyarakat.
Hal demikian diharapkan mampu mengubah pola pikir yang menganggap bahwa nilai-nilai kesalehan hanya salat dan mengaji. Program literasi jarang menjadi rutinitas di sekolah, apalagi menjadikannya sebagai garapan utama.
Sebagai contoh, tren program unggulan yang banyak digarap sejumlah sekolah adalah program tahfizh. Program tahfizh merupakan kegiatan yang sangat bagus, dan mampu memberikan keuntungan yang menarik bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
Hanya saja, dan patut disayangkan, program tahfizh sering dimanfaatkan sekolah untuk meraup uang yang berlimpah. Namun, program andalan sekolah itu minus khasiat berkemajuan lantaran tidak diimbangi dengan budaya literasi yang memadai.
Aktivitas literer dianggap bukan pekerjaan penting dan diyakini tidak mampu menghasilkan keuntungan. Fokus amalan sekolah hanyalah salat, salawat, tahfizh dan zikir bersama.
Aktivitas literasi memang tidak (banyak) menghasilkan keuntungan materi, tetapi berkhasiat menguatkan kesalehan ritual sekaligus sosial bagi guru dan siswa, serta mampu menentukan arah kemajuan sekolah.
Presiden Jokowi telah melakukan kampanye berbuku, bahkan saya menduga akan terus dilakukannya lagi, dan lagi. Tidak penting mempersoalkan tujuannya. Yang jelas saya iri, dan ingin ikut-ikutan rajin membeli buku.
Selanjutnya, kerja mengampanyekan buku dengan program literasi di sekolah akan menjadi rutinitas pekerjaan yang ingin saya lakukan selain mengajar hafalan Al-Qur’an. Insyaallah.















0 comments
 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters