Danang Muchtar Syafi’i
(Mahasiswa Pascasarjana Magister Pendidikan Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Guru MIM Inovatif Gonilan)
Belum
lama ini ada fenomena menarik perhatian publik. Fenomena itu adalah, Presiden
Joko Widodo di sela-sela kunjungan kerjanya sempat meluangkan waktunya untuk membeli
buku di satu Toko Buku di Maluku City Mall, Kota Ambon (8/2).
Aktivitas berbuku diulangi lagi. Pada
Minggu (19/2/2017) siang, Presiden Jokowi
mengunjungi toko buku di Mall Senayan City untuk mencari buku yang dirasa pas
untuk dibagikan kepada
anak-anak karena minat
membaca anak-anak Indonesia harus ditingkatkan.
"Tadi di Senayan beli buku Bung Hatta dan Bung
Karno, juga buku cerita rakyat Nusantara. Bisa untuk anak-anak waktu kunjungan
ke daerah”, tulis Presiden Jokowi
lewat akun Twitter-nya@Jokowi, Minggu malam.
Apresiasi
tinggi pantas diberikan terhadap manifestasi “kampanye berbuku” tersebut.
Maksud kampanye berbuku ialah mendakwahkan budaya membaca kepada khalayak untuk
bersama-sama membangun peradaban bangsa melalui budaya literer.
Dalam
pembacaan saya sebagai guru, Presiden Jokowi seolah ingin menunjukkan bahwa
Gerakan Literasi Sekolah yang tengah digerakkan pemerintah bukanlah sekadar
omong kosong, atau pencitraan politik semata tanpa dijalankan.
Fenomena
kampanye membaca buku tersebut muncul pada momentum program Gerakan Literasi Sekolah
yang digerakkan Mendikbud pada waktu
belakangan ini. Artinya, kampanye berbuku telah diniati menjadi program sistemik
yang digalakkan pemerintah.
Kampanye
berbuku Presiden Jokowi menjadi seruan
kepada para guru dan siswa agar
gemar membaca buku. Sebab, sekolah tanpa membentuk siswa gemar membaca merupakan suatu kegagalan dalam
visi, misi dan tujuannya.
Buku
adalah “ruh” pendidikan yang menginspirasi amalan berkemajuan. Dengan aktivitas berbuku, misalnya, maraknya peredaran kabar fitnah
dan bohong (hoax) dapat dicegah.
Maka
dari itu, kini pemerintah menggarap
program kerja gerakan literasi sebagai
kebijakan prioritas untuk menumbuhkan nalar
kritisisme siswa. Kebijakan
yang dinantikan, misalnya, mempertimbangkan usulan adanya hari khusus membaca
buku, majalah, dan media berkualitas di sekolah.
Inovatif
Ada
rasa antusiasme yang muncul dalam menyambut wacana “merayakan” berbuku itu.
Saya pikir bukan saya seorang yang akan antusias menjalankannya. Evy Sofia dan
Setyaningsih pun pasti juga akan lebih bersemangat merayakan literasi bersama
siswa.
Dalam
esai keduanya yang dimuat Solopos
edisi 8 dan 10 Februari 2017, Evy dan Setyaningsih memperlihatkan eksistensinya
sebagai guru yang mengampanyekan program literasi di sekolah dengan agenda inovatif.
Kita
optimistis para pendidik bisa berperan menjadi
“mata air” peradaban keilmuan apabila senantiasa menggarap kerja inovasi
literasi di sekolah. Kerja budaya kreatif menjadi keniscayaan tersendiri dalam
menggerakkan budaya literer yang menyenangkan.
Muhidin
M. Dahlan (2008) menasihati kepada para pemangku buku, kutu buku, guru dan
aktivis buku lainnya untuk tidak memaksa orang gemar membaca buku. Gerakan
pemaksaan literer merupakan suatu tindakan yang angkuh dan sombong.
Semangat mendakwahkan gerakan
budaya literer jangan sampai
melupakan kondisi kebudayaan masyarakat kita yang
suka dengan budaya tontonan
daripada budaya mendaras
buku, apalagi diminta untuk membeli buku.
Rajawali
Indonesia Communication bekerjasama dengan Kampung Buku Jogja telah menyelenggarakan Festival MocoSik pada 12 hingga
14 Februari 2017 di Jogja Expo Center, Jogjakarta. MocoSik adalah akronim dari
“Moco” (Jawa: baca) dan “Sik” (musik).
Festival
bertajuk Membaca Musik, Menyanyikan Buku itu
adalah yang pertama digelar dengan menjadikan buku sebagai tiket masuk menonton
konser musik. Festival MocoSik
merupakan ihwal mendialogkan dua
modus budaya kreatif dalam sebuah rekayasa manajemen kegiatan inovatif.
Seperti
lembaga dan komunitas literasi di atas, sekolah juga dituntut mengampanyekan
budaya literer kepada siswa dengan konsep
penyelenggaraan yang inovatif. Dengan begitu, kampanye gerakan literasi punya daya
menghibur lantaran hidup dalam kegairahan dan kreativitasnya.
Subtansi
esai Evy Sofia yang berjudul Memanjakan
Pembaca dan esai Setyaningsih yang berjudul Jangan Jadi Pembaca Manja dapat mendorong guru lainnya untuk berlomba-lomba
dalam memajukan sekolah melalui perayaan rutinitas agenda literasi yang
inovatif.
Evy
Sofia mengusulkan
kegiatan literasi sekolah sebaiknya dapat bekerjasama dengan Perpustakaan
Daerah. Dengan suatu kerja sama yang terjalin diharapkan akan menciptakan
inovasi kampanye berbuku yang bermutu.
Program
Ayo Membaca yang digerakkan Harian Solopos bersama sekolah Soloraya telah
menciptakan ide-ide kegiatan yang menarik sehingga para guru dan siswa dapat melakukan
agenda membaca media dengan mengasyikkan.
Sementara,
inovasi agenda literasi yang dilakukan Setyaningsih
termanifestasikan melalui strateginya dalam menyeru siswa berbudaya literer.
Hadiah berupa buku diberikan kepada siswa yang tulisannya dinilai paling
menarik.
Saya
juga pernah melakukan contoh strategi
program literasi inovatif
di (Ruang Laboratorium
Literasi dan Budi Pekerti) sekolah.
Teknisnya berupa penggabungan aktivitas menonton film dan membaca buku dengan tema yang berkaitan
untuk menghasilkan sebuah hikmah yang menggugah.
Tantangan
Aktivitas
inovasi literasi di sekolah sebagai wujud kreativitas
para pendidik untuk mengamalkan perintah “Bacalah!”. Namun,
berbagai tantangan kekinian akan menguji seberapa tangguh garapan inovasi program literasi sekolah
dapat dilaksanakan secara
berkelanjutan.
Internalisasi
kesalehan yang dilakukan sekolah jarang –jika tidak boleh disebut kosong– memuat
pengamalan literer. Konsentrasi sekolah dalam menerapkan tata nilai budaya
sekolah hanya “jalan di tempat” pada internalisasi kesalehan ritual.
Belum lama ini saya
mengumpulkan karya ilmiah
yang bertemakan internalisasi nilai-nilai keagamaan di sekolah sebagai kajian rencana tesis.
Usaha penghayatan dan pelaksanaan kesalehan di sekolah kerap tidak menyertakan kajian
keilmuan yang berkemajuan.
Kita
jarang melihat sekolah memiliki agenda literasi yang terkoneksi aktif dengan wali siswa.
Jadi, janganlah jumawa
dulu menyalahkan orangtua dengan mengatakan wali siswa pasif mendidik anak.
Bisa
jadi orangtua siswa menyimpan peran yang jauh lebih besar ketimbang sekolah
dalam membangun tradisi keilmuan dan kesalehan siswa. Sekolah perlu bertekad
untuk mengampanyekan budaya literasi di sekolah dengan menjalin hubungan intensif
dengan masyarakat.
Hal
demikian diharapkan mampu mengubah pola pikir yang menganggap bahwa nilai-nilai
kesalehan hanya salat dan mengaji. Program literasi jarang menjadi rutinitas di
sekolah, apalagi menjadikannya sebagai garapan utama.
Sebagai
contoh, tren program unggulan yang banyak digarap sejumlah sekolah adalah
program tahfizh. Program tahfizh merupakan kegiatan yang sangat bagus, dan mampu
memberikan keuntungan yang menarik bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
Hanya
saja, dan patut disayangkan, program tahfizh sering dimanfaatkan sekolah untuk meraup
uang yang berlimpah. Namun, program andalan sekolah itu minus khasiat berkemajuan
lantaran tidak diimbangi dengan budaya literasi yang memadai.
Aktivitas
literer dianggap bukan pekerjaan penting dan diyakini tidak mampu menghasilkan
keuntungan. Fokus amalan sekolah hanyalah salat, salawat, tahfizh dan zikir
bersama.
Aktivitas
literasi memang tidak (banyak) menghasilkan keuntungan materi, tetapi berkhasiat
menguatkan kesalehan ritual sekaligus sosial bagi guru
dan siswa, serta mampu menentukan
arah kemajuan sekolah.
Presiden
Jokowi telah melakukan kampanye berbuku, bahkan saya menduga akan terus dilakukannya lagi, dan lagi. Tidak penting mempersoalkan tujuannya. Yang
jelas saya iri, dan ingin ikut-ikutan rajin membeli buku.
Selanjutnya,
kerja mengampanyekan buku dengan program literasi di sekolah akan menjadi rutinitas
pekerjaan yang ingin saya lakukan selain mengajar hafalan Al-Qur’an. Insyaallah.