Labels: ,

Saatnya Memburu “Parcel” Allah

Ramadhan berlalu begitu cepat, tak terasa sebentar lagi lebaran. Hari kemenangan umat Islam atas perjuangan sebulan penuh. Orang-orang yang menang harus mampu memburu “Parcel” dari Allah. Allah telah menyiapkan “parcel-parcel” istimewa bagi hamba-hambanya di bulan ramadhan ini, khusunya di sepuluh hari terakhir ramadhan. Apa itu “parcel” yang dipersiapkan Allah untuk kita? Yaitu keistimewaan lailatul qadar.

Dalam Surat Al-Qadr ayat 3 menyatakan bahwa malam lailatul qadar (malam kemuliaan) itu lebih baik dari pada seribu bulan. Itulah “parcel” terindah yang akan Allah berikan pada hamba-hambanya yang mampu meraihnya. “Parcel” ini ada di malam ganjil sepuluh hari terakhir ramadhan atau malam ganjil setelah malam ke-20 ramadhan. Namun Allah tidak memberi tahu hamba-Nya waktu tepat malam tersebut.

Allah menyembunyikan malam lailatul qadar dari pengetahuan kita. Allah menyembunyikan keridhaan-Nya pada setiap ketaatan agar timbul dalam diri kita keinginan untuk melakukan ketaatan itu dan beribadah sebanyak-banyaknya untuk memperoleh keridhaan-Nya. Begitulah Allah juga menyembunyikan malam lailatul qadar agar kita umat muslim menghidupkan keseluruhan malam ramadhan dalam mendekatkan diri pada Allah dan bukan menunggu datangnya malam lailatul qadar saja untuk beribadah dan berdoa.

Hal ini pun sebenarnya juga merupakan penyakit kronis yang menimpa kita, umat Islam. Malam-malam pertengahan ramadhan dihadapi dengan lesu kemudian memforsir diri di malam sepuluh terakhir. Dengan berdalih karena mengejar “parcel” Allah tersebut yang kita tidak tahu masa tentu kedatangannya. Hal ini sebenarnya kadang menyebabkan kita lalai dan terlepas akan keutamaan bulan ramadhan sendiri yang datang setahun sekali.

Terlepas dari itu, malam lailatul qadar memang malam yang mulia. Inilah “parcel” Allah yang diberikan pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan melakukan amalan saleh. Orang yang mendapatkan “parcel” Allah ini hatinya akan senantiasa diliputi rasa bahagia. Seperti ayat kauniyah Allah yang sering kita saksikan sebagai negara agraris, padi semakin berisi maka akan semakin merunduk. Begitu pulalah kita sebagai hamba Allah yang mendapatkan keistimewaan lailatul qadar, ia akan menjadi manusia yang semakin baik, ia akan semakin memperbanyak sholatnya, dzikirnya, sedekahnya, tilawahnya, dan bentuk-bentuk ibadah yang lainnya.

Untuk mendapatkan “parcel” Allah ini, kita tidak boleh hanya menunggu dan berleha-leha. Kita harus bersungguh-sungguh dalam beribadah pada Allah dengan menjauhi segala bentuk dosa dan maksiat. Selain itu, kita juga bisa melakukan i’tikaf, menghidupkan malam dengan qiyamul lail, dzikir dan tilawah al-Qur’an, bersedekah, memperbanyak doa memohon ampun dan keselamatan Allah.


Malam lailatul qadar ini merupakan bonus akhirat kepada umat Nabi Muhammad SAW di bulan Ramadhan, selain bonus pahala yang dilipatgandakan. Lengkap sudah bonus Allah kepada hamba-hamba-Nya di bulan ramadhan ini, tinggal kita mau berusaha mendapatkannya atau tidak. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa bonus atau “parcel” Allah tidaklah diundi, tidak diperuntukkan bagi suku, golongan, atau ras tertentu saja melainkan diperuntukkan bagi setiap orang yang mau mendapatkannya dengan usahanya masing-masing. Semoga Allah memudahkan jalan kita menuju ridho-Nya. Aamiin.

Note:
Jawapos (Radar Solo) edisi senin, 29 Juli 2013

0 comments
Labels:

REKAYASA 87T1

“Dasar anak teroris!”
Umpatan-umpatan dan juga hujatan-hujatan semacam itu terus berdatangan kepada anakku. Tiap hari tanpa henti.  Seringkali anakku pun menangis, mengadu padaku yang juga nanar. Aku tidak kuat lagi menjalani ujian yang silih berganti datang. Permasalahan demi permasalahan seolah-olah tidak henti-hentinya mengalir. Aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapinya. Aku pun juga tidak tahu bagaimana lagi cara untuk menghibur anakku yang selalu di bawah tekanan orang-orang yang tidak berkerikemanusiaan. Bayangkan, anakku kini baru 2 tahun tetapi mereka begitu teganya memperlakukannya seperti itu. Seringkali anakku bertanya, “Umi, teroris itu apa? Apakah aku anak teroris?”
Dan aku hanya tergugu, menyapu linangan airmata yang berderai. Dalam tiap malam-malamnya aku selalu berkata pada anakku yang tidur pulas. Anakku sayang maafkan umi, kamu bukan anak teroris. Umi yakin, abimu tidak seperti itu, itu hanya sebuah rekayasa.
Malam itu pikiranku terbang melayang, berputar pada malam dimana penangkapan suamiku, yang membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat, 9 November 2010. Waktu itu aku sedang hamil tua, kandunganku berusia kira-kira tujuh bulan setengah. Malam sudah terlalu larut, namun suamiku belum juga pulang. Tidak biasanya suamiku pulang malam tanpa memberi kabar. Hatiku pun mulai risau tak menentu. Aku mencoba untuk mengiriminya pesan singkat, tapi tidak pernah dibalas. Aku juga mencoba untuk meneleponnya, tetapi juga tidak pernah diangkat. Aku semakin gelisah, dan tiba-tiba mereka datang.
Mereka seperti polisi, namun tidak mengenakan seragam polisi. Mereka hanya mengenakan jaket kulit hitam tebal. Orang-orang menyebut mereka dengan Pasukan 87T1. Mereka mengetuk pintu rumahku dengan sangat keras, seolah ingin mendobrak. Aku yang sedang mencoba menenangkan diri dengan muroja’ah tersentak kaget mendengar pintuku seolah-oleh didobrak. Refleks, aku langsung membukakan pintu itu. Betapa terkejutnya diriku, ketika melihat suamiku kedua tangannya diikat, mulutnya dibungkus dengan lakban hitam dan tubuhnya didorong dengan kasar ke arahku.
“Ada apa ini?” tanyaku marah dan tak mengerti.
Mereka tidak menjawab, tetapi dengan lancangnya malah mengobrak-abrik seluruh isi rumahku. Pintu kamarku didobrak, gagang pintu dijebol, pintu dapur pun ditendang, lemari-lemari dibongkar, kasur diinjak-injak, 7 CPU yang akan dipakai untuk usaha membuka warnet diambil, kamera sony milikku dibawa beserta uang 15 juta raib oleh mereka. Setelah puas mengobrak-abrik seisi rumahku, mereka dengan kasar menyeret suamiku, sementara aku sendiri disuruhnya pergi. Aku tidak boleh lagi memasuki rumahku, sedang tetangga-tetanggaku menatapku sinis, jijik, seolah-olah aku makhluk paling menjijikkan sedunia.
Malam itu, aku benar-benar tidak tahu lagi harus ke mana.
“Bu, izinkan saya menginap semalam di rumah ibu,” pintaku memelas, putus asa pada seorang tetanggaku yang kukira baik hati.
“Dasar istri teroris, tidak tahu diri! Pergi saja dari kampung ini!” hujatnya padaku. Aku sungguh tidak menyangka, Ibu Laksmi yang kukenal selama ini baik hati ternyata tega memperlakukanku seperti itu bahkan mengusirku.
Kali ini aku benar-benar menangis, hatiku perih. Dan pada saat itu, aku merasakan sakit yang berlebih di perutku. Darah mengalir dan aku tak sadarkan diri lagi.
Ketika aku tersadar, ternyata aku sudah berada di rumah sakit bersalin dan hanya ditemani seorang sanak keluarga jauh. Aku kembali dikejutkan dengan judul berita pada salah satu surat kabar ‘Tersangka Teroris Muhammad Rafiqo telah Dibekukan.’
“Telah ditemukan bom di bawah dipan di rumah tersangka.” Dalam hati aku tertawa membaca pernyataan di surat kabar tersebut. Kami tidak pernah mempunyai dipan. Kami tidur hanya beralaskan kasur tanpa dipan.
Aku bingung, mengapa mereka menangkap suamiku. Apakah karena suamiku terlalu baik. Apakah karena suamiku berjenggot tebal, bercelana cingkrang dan taat beribadah. Aku kira itu hal-hal yang sangat baik. Atau ini hanya sebuah rekayasa belaka?
Pertanyaan demi pertanyaan berlabuh di otakku yang senantiasa bersujud pada-Nya. Apakah penangkapan ini berhubungan dengan kedatangan presiden negeri Antar Sengsara ke negeri ini? Suamiku secara politik memang tidak pernah sepakat dengan Antar Sengsara, dan presidennya. Ia kerap kali melakukan kritik terhadap presiden Antar Sengsara karena kebijakan politiknya selalu merugikan orang-orang seperti kami dan menciptakan sistem kapitalisme yang membawa dunia pada kemiskinan. Tetapi aku yakin, suamiku tidak pernah terbersit sedikitpun pikiran untuk membinasakan presiden Antar Sengsara. Meski ia tidak pernah sependapat dengan presiden Antar Sengsara, tetapi ia masih mempunyai hati dan rasa perikemanusiaan yang tinggi. Pikiran-pikiran itu terus berkecambuk di otakku tiada henti. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan hal ini. Toh, Yang Maha Kuasa pasti mengetahui semua kebenarannya.
Keesokan harinya, Alhamdulillah anakku lahir dengan selamat, meski kandunganku waktu itu baru berusia tujuh setengah bulan. Kelahiran anakku yang pertama terlalu dini, tetapi Maha Suci Allah, anakku lahir tanpa cacat.
Selepas kelahiran anakku, aku ingin membuatkan akta kelahirannya. Namun, semua dipersulit. Petugas kecamatan tidak mau mengurus perihal akta anakku yang kuberi nama Muhammad Nurul Iqbal. Alasannya sangat sepele, hanya karena anakku anak abinya, Muhammad Rafiqo, tersangka teroris. Bahkan mereka menyebutku dengan sebutan ‘Istrinya teroris.’ Sebuah sebutan yang tidak pernah terbayangkan olehku dalam hidupku.
Pembuatan akta anakku gagal. Aku mencoba menahan amarahku, kalau aku marah apa bedanya aku dengan mereka yang licik dan biadab itu. Selama ini aku hanya memendamnya, hingga pada suatu hari, aku dan pak RT di kampungku dipanggil oleh Pasukan 87T1 untuk segera menghadap di kantor mereka. Aku dan pak RT pun menghadiri panggilan itu. Aku, suamiku, dan pak RT digiring oleh pasukan 87T1 ke ruang grasi, dan diperlihatkan ada peluru dan sarung pistol revolver AK 470 dalam sebuah ransel yang katanya ditemukan di kamar rumahku dua hari setelah penangkapan itu. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Setahuku, suamiku tidak pernah mempunyai ransel itu, apalagi isinya sama sekali baru.
Suamiku membantah kalau barang-barang itu miliknya, tetapi Pasukan 87T1 memaksakan kehendaknya bahwa barang-barang itu milik suamiku. Aku yang sedari tadi mendengarkan pembantahan suamiku, mencoba untuk membela suamiku. Pembelaan demi pembelaan terucap dari bibirku yang sama sekali tak berlipstik, bibirku hampir-hampir nyonyor. Tetapi apalah daya diriku, aku dan suamiku hanyalah rakyat kecil biasa, yang tidak akan pernah mau membeli hukum murahan. Dengan tuduhan itu suamiku harus mendekam di hotel prodeo selama 2,5 tahun. Hukum memang tidak selamanya sesuai harapan. Ia akan bekerja sesuai dengan actor-aktor yang berkepentingan di dalamnya.
“Huft,” aku menghela nafas panjang.

Lalu salah seorang Petugas 87T1 tiba-tiba menghampiriku. Wajahnya terlihat lesu, dan tertunduk. Kemudian, pelan ia menghampiriku dan mengucap “maaf” padaku.

0 comments
Labels:

REKAYASA 87T1

“Dasar anak teroris!”
Umpatan-umpatan dan juga hujatan-hujatan semacam itu terus berdatangan kepada anakku. Tiap hari tanpa henti.  Seringkali anakku pun menangis, mengadu padaku yang juga nanar. Aku tidak kuat lagi menjalani ujian yang silih berganti datang. Permasalahan demi permasalahan seolah-olah tidak henti-hentinya mengalir. Aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapinya. Aku pun juga tidak tahu bagaimana lagi cara untuk menghibur anakku yang selalu di bawah tekanan orang-orang yang tidak berkerikemanusiaan. Bayangkan, anakku kini baru 2 tahun tetapi mereka begitu teganya memperlakukannya seperti itu. Seringkali anakku bertanya, “Umi, teroris itu apa? Apakah aku anak teroris?”
Dan aku hanya tergugu, menyapu linangan airmata yang berderai. Dalam tiap malam-malamnya aku selalu berkata pada anakku yang tidur pulas. Anakku sayang maafkan umi, kamu bukan anak teroris. Umi yakin, abimu tidak seperti itu, itu hanya sebuah rekayasa.
Malam itu pikiranku terbang melayang, berputar pada malam dimana penangkapan suamiku, yang membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat, 9 November 2010. Waktu itu aku sedang hamil tua, kandunganku berusia kira-kira tujuh bulan setengah. Malam sudah terlalu larut, namun suamiku belum juga pulang. Tidak biasanya suamiku pulang malam tanpa memberi kabar. Hatiku pun mulai risau tak menentu. Aku mencoba untuk mengiriminya pesan singkat, tapi tidak pernah dibalas. Aku juga mencoba untuk meneleponnya, tetapi juga tidak pernah diangkat. Aku semakin gelisah, dan tiba-tiba mereka datang.
Mereka seperti polisi, namun tidak mengenakan seragam polisi. Mereka hanya mengenakan jaket kulit hitam tebal. Orang-orang menyebut mereka dengan Pasukan 87T1. Mereka mengetuk pintu rumahku dengan sangat keras, seolah ingin mendobrak. Aku yang sedang mencoba menenangkan diri dengan muroja’ah tersentak kaget mendengar pintuku seolah-oleh didobrak. Refleks, aku langsung membukakan pintu itu. Betapa terkejutnya diriku, ketika melihat suamiku kedua tangannya diikat, mulutnya dibungkus dengan lakban hitam dan tubuhnya didorong dengan kasar ke arahku.
“Ada apa ini?” tanyaku marah dan tak mengerti.
Mereka tidak menjawab, tetapi dengan lancangnya malah mengobrak-abrik seluruh isi rumahku. Pintu kamarku didobrak, gagang pintu dijebol, pintu dapur pun ditendang, lemari-lemari dibongkar, kasur diinjak-injak, 7 CPU yang akan dipakai untuk usaha membuka warnet diambil, kamera sony milikku dibawa beserta uang 15 juta raib oleh mereka. Setelah puas mengobrak-abrik seisi rumahku, mereka dengan kasar menyeret suamiku, sementara aku sendiri disuruhnya pergi. Aku tidak boleh lagi memasuki rumahku, sedang tetangga-tetanggaku menatapku sinis, jijik, seolah-olah aku makhluk paling menjijikkan sedunia.
Malam itu, aku benar-benar tidak tahu lagi harus ke mana.
“Bu, izinkan saya menginap semalam di rumah ibu,” pintaku memelas, putus asa pada seorang tetanggaku yang kukira baik hati.
“Dasar istri teroris, tidak tahu diri! Pergi saja dari kampung ini!” hujatnya padaku. Aku sungguh tidak menyangka, Ibu Laksmi yang kukenal selama ini baik hati ternyata tega memperlakukanku seperti itu bahkan mengusirku.
Kali ini aku benar-benar menangis, hatiku perih. Dan pada saat itu, aku merasakan sakit yang berlebih di perutku. Darah mengalir dan aku tak sadarkan diri lagi.
Ketika aku tersadar, ternyata aku sudah berada di rumah sakit bersalin dan hanya ditemani seorang sanak keluarga jauh. Aku kembali dikejutkan dengan judul berita pada salah satu surat kabar ‘Tersangka Teroris Muhammad Rafiqo telah Dibekukan.’
“Telah ditemukan bom di bawah dipan di rumah tersangka.” Dalam hati aku tertawa membaca pernyataan di surat kabar tersebut. Kami tidak pernah mempunyai dipan. Kami tidur hanya beralaskan kasur tanpa dipan.
Aku bingung, mengapa mereka menangkap suamiku. Apakah karena suamiku terlalu baik. Apakah karena suamiku berjenggot tebal, bercelana cingkrang dan taat beribadah. Aku kira itu hal-hal yang sangat baik. Atau ini hanya sebuah rekayasa belaka?
Pertanyaan demi pertanyaan berlabuh di otakku yang senantiasa bersujud pada-Nya. Apakah penangkapan ini berhubungan dengan kedatangan presiden negeri Antar Sengsara ke negeri ini? Suamiku secara politik memang tidak pernah sepakat dengan Antar Sengsara, dan presidennya. Ia kerap kali melakukan kritik terhadap presiden Antar Sengsara karena kebijakan politiknya selalu merugikan orang-orang seperti kami dan menciptakan sistem kapitalisme yang membawa dunia pada kemiskinan. Tetapi aku yakin, suamiku tidak pernah terbersit sedikitpun pikiran untuk membinasakan presiden Antar Sengsara. Meski ia tidak pernah sependapat dengan presiden Antar Sengsara, tetapi ia masih mempunyai hati dan rasa perikemanusiaan yang tinggi. Pikiran-pikiran itu terus berkecambuk di otakku tiada henti. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan hal ini. Toh, Yang Maha Kuasa pasti mengetahui semua kebenarannya.
Keesokan harinya, Alhamdulillah anakku lahir dengan selamat, meski kandunganku waktu itu baru berusia tujuh setengah bulan. Kelahiran anakku yang pertama terlalu dini, tetapi Maha Suci Allah, anakku lahir tanpa cacat.
Selepas kelahiran anakku, aku ingin membuatkan akta kelahirannya. Namun, semua dipersulit. Petugas kecamatan tidak mau mengurus perihal akta anakku yang kuberi nama Muhammad Nurul Iqbal. Alasannya sangat sepele, hanya karena anakku anak abinya, Muhammad Rafiqo, tersangka teroris. Bahkan mereka menyebutku dengan sebutan ‘Istrinya teroris.’ Sebuah sebutan yang tidak pernah terbayangkan olehku dalam hidupku.
Pembuatan akta anakku gagal. Aku mencoba menahan amarahku, kalau aku marah apa bedanya aku dengan mereka yang licik dan biadab itu. Selama ini aku hanya memendamnya, hingga pada suatu hari, aku dan pak RT di kampungku dipanggil oleh Pasukan 87T1 untuk segera menghadap di kantor mereka. Aku dan pak RT pun menghadiri panggilan itu. Aku, suamiku, dan pak RT digiring oleh pasukan 87T1 ke ruang grasi, dan diperlihatkan ada peluru dan sarung pistol revolver AK 470 dalam sebuah ransel yang katanya ditemukan di kamar rumahku dua hari setelah penangkapan itu. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Setahuku, suamiku tidak pernah mempunyai ransel itu, apalagi isinya sama sekali baru.
Suamiku membantah kalau barang-barang itu miliknya, tetapi Pasukan 87T1 memaksakan kehendaknya bahwa barang-barang itu milik suamiku. Aku yang sedari tadi mendengarkan pembantahan suamiku, mencoba untuk membela suamiku. Pembelaan demi pembelaan terucap dari bibirku yang sama sekali tak berlipstik, bibirku hampir-hampir nyonyor. Tetapi apalah daya diriku, aku dan suamiku hanyalah rakyat kecil biasa, yang tidak akan pernah mau membeli hukum murahan. Dengan tuduhan itu suamiku harus mendekam di hotel prodeo selama 2,5 tahun. Hukum memang tidak selamanya sesuai harapan. Ia akan bekerja sesuai dengan actor-aktor yang berkepentingan di dalamnya.
“Huft,” aku menghela nafas panjang.

Lalu salah seorang Petugas 87T1 tiba-tiba menghampiriku. Wajahnya terlihat lesu, dan tertunduk. Kemudian, pelan ia menghampiriku dan mengucap “maaf” padaku.

0 comments
Labels:

MAWAR YANG HILANG


Minggu berkilau di Taman Bale Kambang. Cerah, menyapa muda-mudi dan keluarga yang sedang bercumbu melepaskan rindu selama sepekan. Wajah-wajah sumringah tampak indah dipandang. Suasana angin sepoi-sepoi dan danau buatan yang aduhai menambah keriangan wajah-wajah itu. Namun, tidak bagi Dimas. Di sudut taman Bale Kambang, ia tampak muram. Wajahnya tertunduk lesu. Di tangannya ada beberapa Koran Harian Mingguan.
Berita itu membuat bibirnya bungkam dan bimbang. Pikiran Dimas mulai retak. Ia tidak tahu sesungguhnya akan perasaan terpendam itu. Perasaan yang bersemi dalam diam di atas nama persahabatan. Perasaan terhadap lawan jenis yang kadang serasa coklat, tapi kadang tak semanis yang dibayangkan. Mawar, namanya. Gadis yang mulai tenar karena menjadi pemenang audisi bergengsi di salah satu acara televisi, Woman Factors.
Mawar, gadis remaja yang selama ini menjadi sahabat Dimas dan tumbuh bersemi di hatinya. Gadis belia nan cantik yang selalu ada disaat Dimas membutuhkan seorang teman. Di sekolah, mereka dikenal dengan The Literature Couple (TLC) oleh teman-temannya. Dimas dan Mawar selalu bersama membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra. Melipat-lipat Koran Harian Mingguan dan mendaras rubrik sastranya merupakan bagian dari kisah mereka.
Dimas masih terduduk lesu di Taman Bale Kambang. Sesekali wajahnya mendongak ke langit biru. Tapi, sesekali ia pun menerawang jauh ke danau indah yang ada di Bale Kambang. Patung Partinah Twin yang ada di tengah-tengah danau itu seolah melambai. Wajah patung itu berubah menjadi wajah imut sahabatnya, Mawar. Kini, pikiran Dimas kembali menerawang di masa lalu yang membuatnya merasa kecewa, sakit hati.
☼☼☼.
Woi, lihat ini! Ada audisi Woman Factors,” teriak Toni di dalam kelas sembari membawa majalah yang berisikan informasi itu.
Toni antusias memberikan pengumuman kepada teman-temannya dan memotivasi agar ikut audisi tersebut. Maklum, kebanyakan di kelas itu bercita-cita menjadi seorang penyanyi terkenal semacam Afgan dan Rosa. Lewat audisi ini, mereka berharap bisa mewujudkan cita-citanya itu.
Di bangkunya, Dimas dan Mawar masih asyik-masyuk berdiskusi tentang novel Ronggeng Dukuh Paruk karya sastrawan terkenal Ahmad Tohari. Mereka sama sekali tidak menggubris pengumuman yang disampaikan oleh Toni. Mereka fokus dengan dunia sastranya, tidak mempedulikan teman-teman mereka yang sedang heboh diguncang “Woman Factors”.
Woi, TLC! Asyik aja dengan dunianya sendiri. Ada berita bagus nich. AUDISI WOMAN FACTORS,” ujar Toni mencoba menghancurkan konsentrasi Dimas dan Mawar.
Dimas dan Mawar sama sekali tidak peduli. Mereka menatap sejenak ke arah Toni, kemudian beralih kembali pada buku sastra karya Ahmad Tohari yang bagi mereka lebih menarik dibanding audisi “Woman Factors” . Toni tidak patah arang.
“Eh, Mawar, suaramu kan bagus? Ikutan aja, pasti menang!”
Mawar hanya sedikit melebarkan bibir ke kanan dan ke kiri mendengar bualan Toni. Toni yang merasa mendapat senyum, langsung berkepala besar.
Yee, malah mesem. Ikutan ya?” bujuk Toni lagi dengan wajah yang lebih serius.
Dimas yang sedari tadi membaca Ronggeng Dukuh Paruk menjadi ikut beralih ke pembicaraan Mawar dan Toni. Dimas yang gemas dengan tingkah polah Toni mencoba untuk sedikit memberi perhatian padanya.
“Ada apa tho, Ton? Heboh banget.” Dimas mulai angkat bicara. Dua lesung pipitnya mulai mengembang. Toni tidak menyahut dengan antusias, ia malah melemparkan majalah yang berisi informasi “Woman Factors” itu dihadapannya. Toni pergi berlalu begitu saja seperti tidak ada apa-apa.
Dimas yang merasa bersalah pada Toni, kemudian segera mengambil majalah yang dilemparkan oleh Toni. Ia membuka-buka majalah itu dan mencari pengumuman informasi “Woman Factors” yang sempat mengguncang kelasnya. Dimas mulai membaca dengan saksama pengumuman peluang menjadi penyanyi itu.
Hatinya menjadi bimbang membaca pengumuman itu. Ia teringat akan cita-cita Mawar yang dulu sebelum mengenal Dimas yang ingin menjadi sastrawan. Menjadi penyanyi adalah cita-cita Mawar sejak dulu. Dimas mulai tenggelam dalam kebimbangan dan lamunan hingga lonceng tanda pulang sekolah berbunyi.
Seperti biasa, Dimas dan Mawar tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Kerakusan terhadap hal-hal berkaitan dengan sastra membuat mereka selalu ingin berimajinasi. Mereka selalu pergi ke Taman Bale Kambang selepas sekolah untuk mengerjakan sebuah proyek besar bersama membuat novel sastra inspiratif seperti novel-novel Andrea Hirata atau novel fantasi seperti novel Harry Potternya JK Rowling.
Dimas dan Mawar duduk di sudut taman pinggir danau buatan. Mereka hendak melepaskan penat bersama. Duduk memandang danau yang indah membuat pikiran yang kalut menjadi bersemangat. Perahu angsa diiringi keluarga angsa yang menari-nari di danau menambah keeksotisan pemandangan di taman itu.
Empat mata yang duduk di sudut taman dengan berseragamkan putih abu-abu mencoba mengamati keadaan untuk kemudian dituangkan dalam tulisan. Mata mereka terfokus pada perahu angsa yang berputar-putar di atas air. Mereka terkekeh-kekeh melihat sepasang kekasih yang duduk asyik di atas perahu angsa itu. Namun sesekali Dimas melihat wajah ayu Mawar.
Dimas memandang lekat ke arah Mawar. Lalu, tiba-tiba Dimas berdiri, mengagetkan Mawar yang tengah berfantasi ria memandang dua kekasih di atas perahu angsa itu. Tanpa kata, tanpa suara Dimas menarik tangan Mawar. Mawar pun hanya bisa mengikuti Dimas sahabatnya dengan penuh tanda tanya.
“Pak, perahu angsa satu!” seru Dimas.
Rupanya, Dimas juga ingin merasakan duduk di singgasana perahu angsa hanya berdua dengan Mawar. Mawar yang sedari tadi mengerutkan kening dan bertanya-tanya dalam hati telah menemukan jawabnya. Kini, Dimas dan Mawar duduk di atas singgasana itu.
Mereka mengayuh perahu angsa itu berdua, menikmati kebersamaan yang indah. Bagi Dimas, inilah hal terindah yang belum pernah ia dapat selama ini. Sama dengan sebelumnya, Mawar hanya membicarakan sastra, sastra, dan sastra hingga menimbulkan kebosanan di hati Dimas. Ia hanya ingin berdua bersama Mawar.
“Mawar, kamu ikutan audisi itu saja!” ujar Dimas mulai mengalihkan pembicaraan.
“Ah, kamu ini Dim. Kamu tahu kan, duniaku adalah sastra bukan penyanyi,” jawab Mawar santai.
“Bukankah dulu kamu ingin menjadi seorang penyanyi?”
Mawar tidak menjawab pertanyaan Dimas. Ia hanya tersenyum mendengar pertanyaan Dimas yang baginya terdengar agak aneh.
“Sungguh Mawar, aku ingin kamu ikut audisi itu,” lanjut Dimas.
Mawar masih tidak menggubris Dimas.
“Maw..!”
“Aku takut, Dim kebersamaan ini akan hilang kalau aku ikut audisi itu,” jawab Mawar serius.
“Tidak akan! Kamu percaya padaku kan, Maw? Kita akan selalu bersama sebagai sahabat, tidak akan terpisahkan selamanya.”
“Baiklah kalau begitu.”
Dimas merasa puas dengan jawaban Mawar. Dimas adalah sosok sahabat yang setia bagi Mawar. Ia selalu menemani Mawar ketika mendaftar audisi itu bahkan sampai pentas Mawar untuk pertama kali. Dimas hadir member sorak. Ia memberikan semangat meski harus membolos sekolah untuk beberapa kali.
Mawar memukau penonton di seluruh Indonesia dengan suaranya, bahkan dewan juri turut menampakkan kekagumannya. Suaranya sangat indah dan merdu sehingga membuat semua orang yang mendengarnya tersihir. Audisi pertama, Mawar lolos. Dimas sangat girang Mawar bisa lolos dan masuk pada babak selanjutnya.
Dimas tidak henti-hentinya menyemangati Mawar. Ia selalu ada untuk Mawarnya itu. Sampai pada babak penyisihan terakhir hingga Mawar harus dikarantina. Dimas sama sekali tidak bisa menghubungi Mawar. Hanya sekedar mengucap “Semangat Mawar!” tidak ada satupun kesempatan untuk itu meski hanya lewat telepon genggam apalagi bertemu dengannya. Dimas berharap, suatu saat nanti ia masih dapat berdiskusi dan berdua dengan Mawar perihal sastra.
Sampai pada puncak acara, Mawar mampu menyihir semua orang dengan suaranya yang menawan. Mawar ditetapkan menjadi pemenang runner up, hal yang sangat membanggakan terutama bagi Dimas yang menjadi penyemangat utama dibalik kemenangan Mawar.
Pada waktu itu, Dimas dengan cucuran air mata hendak menemui Mawar dan mengucapkan selamat pada Mawar. Ditangannya pun tergenggam rangkaian mawar merah yang sangat indah. Dimas hendak menemui Mawar. Namun, ketika Dimas melambaikan tangan pada Mawar, Mawar justru malah melengos. Dimas mencoba ulang, tapi Mawar malah berlari. Dimas pun mengejar Mawar dan memanggil-manggil Mawar.
“Maaf, Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda” ujar Mawar pada Dimas.
Di sudut Taman Bale Kambang, Dimas masih terpekur memandangi koran yang berisikan berita kemenangan Mawar. Hal yang menyakitkan bagi Dimas adalah Mawar yang dulu sahabat dekatnya, yang selalu ada di kala susah dan senang, tapi kini menghilang sudah. Mawar telah berubah. Mawar yang dahulu selalu menebar kebahagiaan dengan mahkotanya yang indah, kini mulai mengeluarkan durinya yang tajam pada Dimas. Tidak ada lagi kebiasaan mendiskusikan kasusastraan.
Di Bale Kambang tampak sepi di hari yang mulai siang ini. Keluarga-keluarga yang sedari pagi bercumbu sudah merasa bosan. Begitu pula dengan Dimas. Ia mencoba mengusir kebiasaannya itu dengan memandang patung Partinah Twin di tengah danau. Patung Partinah itu berubah menjadi Mawar yang cantik. Patung itu seolah memanggil Dimas. Dimas pun beranjak dari tempat duduknya, kemudian melangkah ke arah danau. Ia mendekati ke danau. Langkah kaki Dimas semakin pasti dan danau itu mulai beriak.


0 comments
Labels: , ,

Dengan Al-Qur’an Aku Bertransaksi

(Novitasari Mustaqimatul Haliyah)

Wahai orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui (As-Saff:10-11).
Salah satu usaha pemenuhan kebutuhan manusia adalah dengan perdagangan. Menurut KBBI, Perdagangan itu berhubungan dengan perniagaan, sedangkan perniagaan berhubungan erat dengan kegiatan jual beli, berarti ada penjual dan pembeli. Pembeli harus mempunyai uang sebagai alat transaksi. Tetapi transaksi dengan Allah tidak hanya menggunakan uang atau harta tetapi bisa menggunakan jiwa seperti dalam QS. As-Saff:10-11 di atas.
Ustadzah Ishmah Mufadhilah namanya, beliau merupakan seorang hafidzah. Saat ini sedang memulai berbisnis dengan alat transaksi Al-Qur’an. Beliau beserta suami dan rekan-rekannya mendirikan pondok tahsin dan tahfidz khusus muslimah Griya Qur’an Al-Husnayain. Pondok tersebut bertempat di jalan Gunung Kawi  No. 38   Rt.01/11 (Bonoloyo)  Kadipiro,  Banjarsari, Surakarta  Jawa Tengah.
“Saya sangat menyukai dunia Al-Qur’an dan saya harus bersama Al-Qur’an. Maka dari itu saya bersama suami dan rekan-rekan mendirikan pondok tahsin dan tahfidz khusus muslimah ini. Ini kami sebut dengan bisnis yang sangat menggiurkan dan sangat menguntungkan. Semua fasilitas seperti asrama dan pendidikan sama sekali tidak dipungut biaya karena kami bertransaksi dengan Allah bukan menggunakan uang tapi menggunakan tenaga kami dan menggunakan Al-Qur’an. Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. Dan ini merupakan sebuah amal jariah yang pahalanya tiada putus, Insya’allah,” papar Ustadzah Ishmah kapada kami dengan penuh semangat.
Ya, memang tidak perlu menggunakan uang dalam bertransaksi dengan Allah. Allah tidak membutuhkan uang kita, tetapi Allah selalu menginginkan kita untuk senantiasa berjalan dalam tuntunan-Nya, sesuai Al-Quran dan Al-hadits. Keluarga ustadzah Ishmah itu merupakan salah satu contoh keluarga yang melakukan sebuah transaksi yang sangat menarik, tidak hanya memikirkan masalah keduniawian tetapi juga masalah berkenaan dengan kehidupan setelahnya.
Bayangkan jika setiap satu huruf Al-Qur’an itu mengandung paling sedikitnya dua kebaikan berapa kebaikan yang akan kita peroleh ketika kita membaca dan mengajarkannya? Transaksi ini seperti MLM (Sistem Level Marketing). Tetapi memang sejatinya agak berbeda dengan MLM sesungguhnya. Dalam MLM uang akan selalu mengalir pada kita meski kita tidak bekerja karena kita mempunyai bawahan dan bawahan kita mendapatkan orang terus-menerus. Seperti itu juga sistem MLM amal dalam mengajarkan Al-Qur’an. Bukankah setiap huruf dalam Al-Quran mendapatkan kebaikan dan bisa dilipat gandakan sampai sepuluh kali bahkan sampai tujuh ratus kali, dan amalan ini adalah merupakan ilmu yang bermanfaat serta amal jariah. Pahalanya akan terus mengalir selagi ilmu itu masih terus digunakan.
Menarik bukan, bertransaksi dengan Allah dengan sistem seperti ini? Seperti yang dijanjikan Allah dalam firmanNya As-Saff bahwa perdagangan yang dapat menyelamatkan kita adalah perdagangan dengan harta dan jiwa kita, berjihad di JalanNya. Waallahu ‘alam.


0 comments
Labels: , , , ,

Ramadhan dan Qur'an

Oleh: Novitasari Mustaqimatul Haliyah
“Puasa dan Al-Qur’an akan memberi syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat kelak, puasa berkata, “Rabbku! Aku menahannya dari makanan dan minuman pada siang hari, “ dan Al-Qur’an berkata, “Aku menahannya dari tidur pada malam hari maka izinkanlah kami jadi syafaat untuknya.” (HR. Ahmad:2/174)
Ramadhan adalah bulan yang istimewa bagi setiap muslim, bulan yang selalu di nanti-nanti. Namun, jangan hanya sekedar di nanti-nanti kedatangannya lantas disia-siakan begitu saja tanpa ada aktivitas bermakna di dalamnya. Ramadhan tidak sekedar agenda puasa menahan dahaga dan lapar saja, tetapi di dalamnya harus diisi dengan ibadah-ibadah yang lainnya, seperti tilawatil Qur’an.
Puasa itu membawa pelaksananya pada ketakwaan seperti yang telah difirmankan-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 183, yang artinya, “ Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” Orang yang takwa pastilah memahami makna surga dan neraka maka dapat mengejar kebaikan dan meninggalkan keburukan. Alangkah baiknya di bulan Ramadhan nan berkah ini, kita mempunyai target dalam membaca Al-Qur’an. 

Sahabat  Nabi dan Salafus salih ketika ramadhan mereka selalu bercumbu mesra dengan Al-Qur’an. Imam Malik contohnya, pada saat Ramadhan, keinginannya hanya satu, yaitu Al-Qur’an. Imam Syafi’i, tiap dua hari sekali mengkhatamkan Al-Qur’an. Tidak hanya sekedar membaca Al-Qur’an tetapi mereka pun memahami arti dan maknanya juga menghafalkannya. Subhanallah, itulah teladan yang harus kita contoh.

Di negeri para nabi sana, di bulan ramadhan orang-orang selalu berada dekat dengan Al-Qur’an. Tangannya selalu menggenggam Al-Qur’an di manapun mereka berada, di dalam bus, di halte, di rumah, di masjid, kantor. Mereka membaca Al-Qur’an dengan khidmat dan khusyuk meski di dalam keramaian. Masya’allah, lagi-lagi kita mendapat tauladan yang baik yang harus kita contoh. Semoga kita diistiqomahkan dalam beribadah kepada-Nya, tidak hanya di bulan Ramadhan tetapi di bulan-bulan selanjutnya.

0 comments
 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters