Labels:

BINATANG JALANG


Di peron stasiun balapan, tampak orang berdesak-desakan, pedagang-pedagang asongan yang menjajakan makanan dan rokok, mahasiswa-mahasiswi menenteng tas dan koper besar hendak pulang ke kampung halamannya karena ini menjelang hari lebaran, terlihat juga kurir kereta api yang asyik mengatur penumpang dan terlihat juga pencopet-pencopet yang tengah beraksi. Pemandangan ini sudah biasa terjadi. Tidak ada yang istimewa. Namun, tampak lelaki tua bertopi koboy, sepatu hitam mengkilat, dan kacamata hitam berdiri di antara peron-peron stasiun itu yang sedikit menarik perhatianku. Setengah-setengah ia menilik jam tangan yang bertengger di tangan kanannya, dan setengah-setengah ia mondar-mandir menengok kanan-kiri seolah mencari sesuatu.
Karena terlalu lelah berdiri mondar-mandir dan lelah memandang lalu-lalang orang yang tak karuan, lelaki itu pun memutuskan untuk duduk sejenak. Tampak juga gadis setengah baya yang sangat anggun dan cantik. Ia cukup sopan dengan memakai rok abu-abu sepertiga dan hem hitam seperti orang kantoran.
“Aku ini binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang,” ungkap gadis itu layu mengumandangkan syair Chairil Anwar.
Gadis itu menengok ke arah lelaki tua itu lalu ia tersenyum sangat manis. Kemudian mulai membuka pembicaraan.
“Pak, aku ini binatang jalang,” ujarnya tak pernah kuduga.
Lelaki itu tak menggubris apa yang ia katakan, ia sibuk membenahi topinya yang miring.
“Pak, aku ini binatang jalang,” lagi-lagi gadis itu berujar demikian.
Lelaki itu tetap tidak mempedulikannya. Namun, sang gadis terus mengatakan kalimat yang sama.
“Pak, aku ini binatang jalang. Bapak tahu tidak?!” tanyanya pada lelaki tua itu dengan sedikit menyentak.
“Maaf, maksud Adik?” Lelaki tua mulai angkat bicara dan sedikit menaruh perhatian, disingsingkannya lengan bajunya yang kedodoran.
Mendengar lelaki itu bertanya demikian, ia tersenyum.
“Saya ini binatang jalang seperti puisi Chairil Anwar. Saya ini bukan manusia, tapi saya binatang,” katanya kemudian membuat lelaki itu semakin tidak mengerti.
“Maksud Adik bagaimana?” Tanya lelaki bertopi koboi, semakin penasaran.
“Aku ini bagai babi yang dikuliti,” ungkapnya kuyu nan sayu.
“Aku ini najis, najis dan najis sekali. Sudah babi masih dikuliti pula,” katanya kemudian semakin sulit untuk dipahami.
Dengung kereta yang menggaung membuat suasana peron yang ramai semakin membuncah tak karuan. Lelaki tua bertopi itu masih duduk di samping sang gadis. Tak disangka ia malah semakin mendekat. Ia mulai angkat bicara lagi.
“Bapak tahu siapa saya?” tanyanya.
Lelaki itu pun menggeleng.
“Aku ini anaknya tukang becak yang ada di seberang sana. Mereka sering menyebut bapak saya dengan sebutan Atmo. Bapak tahu bapak saya?” tanyanya lagi membuat lelaki itu semakin tak mengerti arah pembicaraan.
Laki-laki itu menggeleng lagi.
“Bapak saya mungkin bukan orang politik, bukan orang pemerintahan dan bukan artis yang banyak dikenal orang. Lha wong bapak saya hanya tukang becak biasa. Tapi bapak saya terkenal di lingkungan stasiun ini,” ungkapnya sambil tersenyum.
“Tahu tidak, Pak. Saya ini binatang jalang? Saya ini babi yang tiap hari dikuliti dan dimakan hatinya?” tanyanya tanpa ekspresi.
Lagi-lagi lelaki tua hanya menggeleng. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, ia pun berusaha mengusap dengan sapu tangannya.
“Bapak mau makan hati saya?”
“Maaf, adik dari tadi ngomong apa bapak tidak paham. Kok, bapak disuruh makan hati Adik? Maksud Adik, saya ini kanibal?” Tanya lelaki tua, heran.
“Jawab dulu, Pak! Apakah Bapak mau makan hati saya? Kalau iya, saya dengan senang hati akan memberikannya pada Bapak.”
“Saya bukan kanibal, Dik. Saya hanya tua renta yang sudah tidak berdaya.”
“Kanibal atau bukan tapi Bapak punya nafsu, bukan?”
“Sudah barang tentu.”
“Kalau begitu makanlah hati saya.”
“Maksud adik?”
“Laki-laki zaman sekarang memang sok suci,” cibir gadis itu kemudian.
Ia pun sedikit menyingkap roknya hingga terlihat pahanya yang aduhai. Putih dan sangat mulus. Gadis itu sedikit menaikkannya lagi hingga lelaki tua itu mulai tertarik. Lelaki itu menelan ludahnya.
“Sudah saya katakan bukan? Saya ini binatang jalang yang tak lebih baik dari babi yang dikuliti. Bahkan babi yang dikuliti dan bunting sekalipun mungkin lebih suci dibanding diri saya ini.”
Lelaki itu sudah menangkap apa yang gadis itu utarakan sejak tadi.
“Adik ini wanita panggilan?” ujar lelaki itu keceplosan.
“Yaaah, terserahlah Bapak mau manggil saya apa. Tapi inilah kenyataan,” balasnya seolah pasrah.
“Kenapa bisa begitu? Kenapa adik bisa terjerumus ke dalam hal-hal itu? Itu terlarang.”
“Bukan keterpaksaan, bukan karena kerelaan tapi karena diri ini memang pantas. Mungkin Tuhan telah merencanakannya,” jawab gadis itu nrimo.
“Tapi Tuhan tidak menginginkan hamba-Nya seperti itu. Itu perbuatan terlarang. Apa lagi ini bulan puasa,” ungkapnya sok menasihati.
“Kalau Bapak tahu hal itu perbuatan terlarang mengapa Bapak masih berbincang-bincang dengan saya? Tidakkah Bapak ke sini untuk mencari seorang wanita?”
Lelaki tua itu terbelalak. Keringat dingin kembali mengucur deras dari pelipis dan seluruh tubuhnya. Ia kaku, tertembak mati.
“Sudah lama saya tidak terima orderan, Pak. Saya lagi butuh,” ungkap sang gadis bermaksud menawarkan diri.
“Lalu apa hubungannya dengan saya?”
“Tolong saya, Pak! Saya sedang butuh. Kalau saya tidak dapat pelanggan, nanti bapak saya marah dan memukul saya.”
“Jadi Bapak adik yang rela menjual adik?”
“Saya tidak menyalahkan bapak saya, Pak. Inilah takdir yang harus saya jalankan. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, juga tak pernah menyalahkan diri ini.”
“Tapi kenapa harus menjual diri, Dik? Kenapa tidak mencari pekerjaan lain?”
“Dengan apa, Pak? SD saja saya tidak lulus, mau mencari pekerjaan dengan apa? Saya ini jujur, Pak. Saya tidak ingin seperti pejabat-pejabat  yang memanipulasi data. Ngakunya lulus S-1 ternyata SMP saja tak lulus.”
Dalam hati lelaki tua itu pun membenarkan apa yang telah dikatakan gadis ini. Tapi, setelah mendengar pernyataan itu tubuh laki-laki itu menjadi panas-dingin tak karuan. Jantungnya berdetak sangat kencang.
“Saya tak punya ijazah, Pak. Saya juga tak punya ketrampilan. Modal saya yaaa hanya awak ini. Yang saya bisa berdayakan dan saya jual bukan otak, Pak. Tapi tenaga saya dan hati saya.”
Lelaki itu hanya terdiam merenungkan semua ini. Kemiskinan, kecurangan dan ketidakadilan telah menjadi api.
“Ayolah, Pak! Tolonglah saya! Saya sedang butuh uang, sudah dua hari kami tidak makan,” pintanya pada lelaki itu.
Tanpa pikir panjang lelaki itu pun mengeluarkan dompet. Dompetnya tebal, banyak warna kertas yang tersimpan di dalamnya dan lelaki itu mengambil selembar kertas warna merah muda. Lalu ia mengulurkan selembar uang itu dengan gemetar pada gadis itu. Tapi gadis itu menolaknya.
“Saya tidak terima uang sebelum saya melakukannya karena itu kewajiban saya,” ungkapnya polos.
“Saya ikhlas memberikannya, Dik. Terimalah!” paksa sang lelaki.
“Tidak! Saya harus melakukannya dahulu baru saya akan menerima uang itu,” katanya ngotot.
“Saya berikan dengan percuma, tak usahlah Adik melakukannya. Saya punya istri, sebentar lagi istri saya datang menumpang kereta itu.”
“Saya tetap tidak mau! Saya bekerja, saya terima penghasilan!” gadis itu semakin ngotot, memaksakan dirinya, mencoba professional terhadap pekerjaannya.
“Tak perlu repot-repot!” ungkap lelaki tua agak kasar.
“Kalau begitu saya akan melaporkan Bapak pada istri Bapak kalau Bapak telah memberi saya upah karena saya telah melayani Bapak,” gadis itu mulai mengancam.
“Maksud adik?”
“Ya, saya akan bilang ke orang-orang dan ketika istri bapak nanti datang saya akan bilang kalau bapak telah memperdayakan saya. Lalu bapak mengupah saya!”
“Adik tidak bisa melakukan hal itu! Saya tidak melakukan apa-apa terhadap adik.”
“Tapi saya ingin Bapak melakukannya! Sekarang! Atau kalau tidak…..” nadanya setengah mengancam.
“Kalau tidak…?!”
“Nyawa Bapak ada di tangan saya. Karir Bapak pun ada di tangan saya. Sebab saya tahu, Bapak ini siapa.”
“A..a..adik tahu saya?” Tanya lelaki itu semakin gemetar.
“Ya. Akan kubocorkan seluruh rahasia Bapak pada masyarakat,” ancamnya penuh dengan kemenangan.
Suasana di stasiun semakin ramai. Orang berdesak-desakan mengantre karcis. Sedang kereta jurusan Yogya-Solo telah bertandang datang. Itu berarti istri lelaki tua itu akan segera turun dari kereta dan mendapatinya. Kalau lelaki itu tidak segera menyelesaikan duduk perkara ini, maka masalah akan semakin bertambah panjang. Kalau lelaki itu menuruti permintaan gadis ini, istrinya yang akan menjadi taruhan. Kalau tidak menurutinya, karirnya juga yang akan menjadi taruhan. Bagai makan buah simalakama. Serba salah.
“Bagaimana Bapak?” tanyanya manja.
“Baiklah, saya akan menuruti kemauanmu,” keputusan lelaki itu kemudian..
“Kalau begitu mari ikut saya!” ajak gadis itu sambil menggandeng lelaki tua itu dengan bangga.
Mereka berjalan meninggalkan peron stasiun menuju tempat terkutuk. Sejam sudah mereka melakukan perjalanan. Lelaki tua itu pun mulai kelelahan. Ia merasakan sensasi yang tiada batas. Sensasi yang tak pernah ia temui dan dapatkan selama ini. Namun, ia segera tersadar, ia telah hanyut dalam rayuan. Kemudian ia segera bangkit dari tempatnya. Ia teringat akan istrinya. Istrinya pasti sedang menungginya di peron stasiun. Lelaki itu bimbang. Perbuatannya tak boleh diketahui oleh istrinya, ia juga harus memastikan bahwa gadis muda itu tak akan menjadi ancaman untuk karirnya lagi.
Semenjak saat itu, gadis yang mengaku binatang jalang itu tidak pernah lagi mondar-mandir di peron stasiun balapan, tak pernah lagi menjajakan dirinya untuk dibeli. Ia lenyap ditelan kesadisan. Ia sudah tidak bisa ditemui oleh siapa-siapa lagi. Ia telah menghilang bersamaan hilangnya kehormatan. Babi yang dikuliti, katanya. Babi bunting telah pergi.

 Catatan:
Tulisan ini ditulis pada tanggal 23 April 2012, karena fikiran lagi buntu dan tak tahu harus menulis apa sedang dipaksa untuk menyetor tulisan. Jadilah tulisan yang seperti ini. Aku pun tak tahu apa yang telah aku tulis.
Maaf kalau ada kata-kata yang kasar dalam cerpen ini.

0 comments
Labels:

HAMPARAN SAKURA


“Dik, Kau masih menginginkannya?” seorang pemuda bertanya pada adik perempuannya.
Sang adik tertunduk, jilbabnya yang rapih ia biarkan berkibar diterpa angin. Pipinya merona menahan isak tangis, lalu dengan lirih ia menjawab, “Iya Kak, Ita sangat menginginkannya. Ita akan menjaga hati untuknya.”
Sang kakak menghela nafas panjang.
“Kenapa kau begitu menginginkannya? Tidakkah kau menyesal dulu kau pernah terluka karenanya? Kenapa kau tak membuka hatimu untuk yang lain saja?”
“Hatiku sudah tertambat padanya, Kak. Ita tak bisa melupakannya dan tak bisa pula membuka hati untuk yang lain. Aku menyukainya, Kak. Maafkan Ita.”
“Baiklah, terserah engkau saja. Semoga jodoh!”
Kakaknya meninggalkannya dengan berjuta misteri. Namun, cukup melegakan hati Ita dengan kalimat terakhir kakaknya. “Semoga jodoh” kata-kata yang selama ini dinanti-nantikan oleh Ita.
Sejak kecil  Ita sangat tertarik padanya. Entah apa yang membuatnya begitu terpesona sehingga keinginan untuk memilikinya begitu menggebu-gebu meski kini ia telah menjadi mahasiswa semester dua. Memang jika dipandang ia begitu indah dengan segala apa yang teranugerahkan padanya. Keren, beken, kaya, penuh nuansa, pintar, cerdik, ganteng, ramah, penuh dengan keceriaan, kerja keras, pantang menyerah, sungguh sempurna. Siapa orang yang tidak kagum memandangnya?
Burung-burung telah kembali keperaduan, mengepakkan sayap-sayapnya dengan luwes, indah nian bergerombol membentuk formasi berbentuk huruf V. Matahari pun tampak kelelahan bekerja sepanjang siang menerangi bumi. Namun di serambi rumah, Ita masih sibuk dengan seabrek aktivitasnya. Di hadapannya terbuka sebuah notebook mini pink, bergambar bunga-bunga sakura, bolpoin pink juga bergambar bunga sakura, semua yang dihadapannya bergambar bunga sakura. Ia begitu menyukai sakura. Ia ingin pergi ke negeri sakura.
Tiba-tiba ada sebuah bayangan.
“Aishiteru, Ita-Chan.”
Mendengar kalimat itu, mata Ita berkaca-kaca. Ita tak menyangka kalimat itu terucap darinya.
“Kaukah itu? Kau yang kucinta? Kau yang kudamba sejak dulu? Benarkah itu kau?” Ita mencoba memastikan.
“Iya, ini aku. Aku datang untuk menjemputmu,” bayangan itu tersenyum manis.
Namun kala itu, hati Ita menjadi ragu. Ia juga mencintai kakaknya. Ia tak mau meninggalkan kakaknya untuk pergi bersamanya. Ita tertunduk.
“Kenapa Ita sayang? Ayo, ikut bersamaku! Bukankah kau mencintaiku dan ingin bersamaku?” bujuk bayang-bayang itu memantapkan hati Ita yang ragu, seolah ia tahu gejolak hati Ita waktu itu.
Ita masih tetap tergugu, berkecimpung dalam dunia khayalnya. Perdebatan batin akan siapa yang ia pilih menjadi topik utama dalam khayalannya. Ita tetap diam.
“Ita-Chan!”
Bayangan itu membuyarkan khayalannya. Namun meski begitu Ita masih enggan menjawab. Lidahnya kaku, pikirannya tertuju pada kakak tercintanya. Ia bimbang. Dahulu Ita sangat mendambakannya, tapi ketika ia datang? Hatinya malah menjadi tak karuan.
“Ita…Ita…! Bangun!” suara itu berubah menjadi suara kakaknya yang lembut.
“Kau bermimpi?” lanjutnya.
Ita mengangguk.
“Ita bermimpi tentangnya, Kak,” pengakuan Ita.
Raut wajah kakaknya berubah seketika, berkerut dan cemberut.
“Kak!” ujar Ita dengan ragu.
“Bolehkah Ita…?”
“Ita, kalau memang itu yang membuatmu bahagia kakak rela.”
“Bagaimana denganmu, Kak?”
“Pergilah!”
“Tapi Kak…”
“Pergi, Ita! Pergi saja!”
“Ita tak ingin kakak sendirian.”
“Pergi!”
“Kak, Ita sayang kakak.”
“Pergilah! Kakak tidak sayang padamu.”
“BOHONG! Kakak mencintaiku. Kakak pasti menyayangiku. Kakak itu kan kakaknya Ita. Tak mungkin kakak tak sayang.”
“Kakak tidak sayang padamu Ita! Aku ini sekarang bukan kakakmu, kau mengerti?!”
“Kakak jahat!”
Ita pun berlari, matanya berlinang air mata. Asanya telah hancur. Namun belum sampai di depan pintu kakaknya memanggilnya. Ia berusaha mencegah Ita pergi. Ia tak sanggup kehilangan adik tercintanya yang selama ini menemaninya. Ibunya telah lama pergi untuk selama-lamanya. Sedangkan ayahnya? Ayahnya menelantarkan mereka. Ayah mereka menjadi pebisnis besar di negeri sakura.
Kakak Ita berusaha keras memanggil adiknya. Berteriak sekuat tenaga namun Ita telah pergi darinya selama-lamanya. Telah menghilang dari pandangan matanya, hanya silau cahaya yang tembus pandang penuh tebaran dan hamparan sakura.
“ITAAA!!!” teriak kakaknya. Dan ia terbangun dari komanya setelah kecelakaan menumpang kereta di negeri sakura.


CATATAN KECIL: Maaf saya sedang galau dan tidak tahu ingin menulis apa. Ini tulisan tanpa insight. Saya menulis sambil tidur, jadinya ya seperti ini. Yaaa...maaf kalau tidak memberikan pencerahan atau pembaca tidak mudheng. Saya pun juga tidak mudheng dengan tulisan saya yang satu ini.

0 comments

KISAH TENTANG PERSAHABATAN


Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Reff.
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa

Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita

Masih kuteringat padamu ketika aku mendengar kembali lagu ini “Semua tentang kita”. Ketika genderang pesta yang meriah ditabuh, itu tanda bahwa saatnya kita berpisah. Hatiku pilu memangku palu dan paku. Genderang itu berbunyi nyaring, memekakkan kalbuku yang nyilu. Tak tahukah kau bahwa aku terlalu mencintaimu dan menyayangimu? Hatiku telah tertambat padamu. Ruangan hatiku yang telah terisi olehmu, kini harus kosong mlompong. Kering kurasa tanpamu, hampa.
Teringat kisah kita bersama. Saat suka dan duka, saat tawa ataupun tangis yang membuncah. Masih teringatkah engkau tentang perjalanan cinta kasih itu? Kebersamaan itu. Masih teringatkah engkau tentang perselisihan yang hampir memutus ikatan erat kita?
Aku terlalu menyayangimu. Mendengar lagu ini dari winamp laptopku, berderailah air mataku, tak kuasa aku menahan deras alirnya. Tersayat-sayat sudah hatiku oleh sembilu genderang itu. Aku ingin kembali ke masa itu. Masa di mana kita habiskan waktu bersama dalam cinta.
Kawan, masih ingatkah ketika pertama kali kita berkenalan? Bagaimana skenario Allah mempertemukan kita hingga sampai pada sebuah kata mulia “PERSAHABATAN”. Kawan, dahulu hatiku pernah sangat membencimu. Namun Allah Sang Pemilik hati telah membalikkan hatiku hingga aku mencintaimu dan kita bersama dalam payung persahabatan.
Meski kini kita telah berpisah menuju cita masing-masing. Semoga ikatan itu akan selalu ada untuk selama-lamanya.

0 comments
Labels: , ,

Pacaran Yook, Ukh!


“Pacaran yook, Ukh!”
“Deg!!!” jantungku tersentak kaget.
“Ukh…ayoo! Jawab!” ajaknya penuh dengan semangat. Matanya berbinar-binar, tangannya mengepal, senyumnya menawan membuatku tak tahan.
Aku hanya tergugu.
“Pa…pa…pacaran?” ucapku terbata.
Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Padahal yang aku tahu, ia paham bahwa pacaran itu dilarang. Setahuku, ia selalu menundukkan pandangan dan anti terhadap lawan jenis. Memandang saja tak berani apalagi sampai berdekat-dekatan. Sungguh kali ini aku benar-benar tak percaya, berani-beraninya ia mengajakku pacaran. Padahal ia pun tahu, aku tak pernah mau pacaran. Makanan apa sich pacaran itu? Bikin galau saja.
“Ukh, bagaimana?” tanyanya lagi.
“Ta…tapiii…pacaran itu kan zina. Mendekati zina saja tidak boleh masa’ pacaran?!”
Ia tersenyum lagi, kemudian bertanya,”Lho zina bagaimana tho, Ukh? Bukan pacaran dalam konteks itu Ukh. Tapi pacaran yang halal. Ukhti paham, kan?”
“Afwan, maksudnya…?” ujarku seolah berfikir panjang.
Aku hendak mengucap apa yang aku maksud dan mungkin yang ia maksud, tetapi ia langsung saja menyahut kalimatku dengan semangat yang menggebu.
“Iya, Ukh. Ayo! Mau ya?”
“Dengan siapa?” tanyaku agak ragu.
“Dengan saya, Ukh. Nanti kita bareng-bareng, ya?”
“Tidak, ah!!! Belum siap!”
“Kenapa belum siap?” tanyanya berkerut-kerut.
“Yaaa…belum siap aja,” jawabku asal. Sebenarnya menghindar darinya. Masa’ sama dia?
“Berarti Ukhti nolak?”
“Ya. Saya tidak mau. Cari yang lain saja!” balasku sewot.
“Owh…”
Wajahnya terlihat sangat kecewa ketika aku menolaknya. Sadis memang, tapi mau bagaimana lagi? Masa’ dengannya? Apa kata dunia??? Bisa runtuh nanti gedung-gedung pencakar langit, bisa kiamat. Walaaah, kan malah tambah ribet.
“Afwan, bukan maksud melukai. Tapi…,” ungkapku kemudian.
“Iya Ukh, tak mengapa. Terima kasih, ya,” jawabnya dengan lembut.
“Tapi saya akan tetap mencari pacar, Ukh. Tunggu ya!” lanjutnya dengan senyuman dan semangat.
“Iya…semoga segera menemukannya, ya!” doaku.
“Aamiin. Syukron. Saya pamit ya, Ukh?”
“Iya. Nanti kabar-kabar ya!”
“Insya’allah. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Tiga Hari Kemudian.
Tiga hari setelah dialog itu, ia menemuiku lagi. Kali ini ia terlihat begitu segar, ceria, dan seperti biasa selalu tampil energik dan semangat.
“Assalamu’alaikum,” sapanya sopan.
“Wa’alaikumsalam. Bagaimana?” tanyaku sok perhatian.
“Alhamdulillah udah. Ia cantik sekali, subhanallah.” Ia tersenyum sangat girang.
“Subhanallah, cepat sekali. Mana?”
Aku sungguh sangat penasaran. Secepat itukah ia menemukan penggantiku?
“Engkau pasti sangat iri dengan kecantikannya. Engkau pun juga pasti menyesal telah menolak kemarin,” ujarnya bangga.
“Halah! Paling juga cantikan aku. Paling-paling kamu juga masih mengharapkanku. Atau mungkin kamu sekarang berpura-pura telah mendapatkannya agar aku cemburu?” balasku acuh dan tanpa aturan.
“Sungguh, Ukh. Engkau pasti iri dan menyesal, bahkan kau akan menangis.”
“Huhft, tak percaya.”
“Ya sudah!!!” Ia mulai emosi.
“Ya sudah, mana kekasihmu itu? Mana?!”
“Kekasih???”
“Iya. Katanya mau pacaran dan sekarang kau telah menemukan pacar. Pacar berarti kekasih, kan?”
“Owalaaah, Ukh. Ukhti salah paham.”
“Salah paham bagaimana?”
“Yang tak maksud pacaran itu ini!” ujarnya sambil menunjukkan jari-jarinya yang lentik. Kuku-kuku jari-jarinya berwarna orange. Sungguh sangat indah dan menawan.
“Ooo…pacar, tho? Tak kiraaa…”
“Ukhti kira aku lesbi?”
“Haha…afwan, Ukh salah tangkep. Mahasiswa sekarangkan lagi masa galau apalagi kemarin-kemarinkan ada kajian Ustadz Faudzil Adzim,” kataku enteng.

3 comments
Labels: , , ,

KISAH ROMANTIS (Baca: Harapan)

Sepenggal kisah kehidupan rumah tangga yang di dalamnya terdapat cahaya yang terang benderang.

Sesuai janji, di sepertiga malam terakhir aku terbangun. Kulihat istriku masih tertidur pulas. Di bibirnya tersungging senyuman. Oh sangat menawan istriku sayang. Kupandang rupanya yang elok, kukecup keningnya, kukucapkan kata-kata mesra, "Sayangku, buka matamu." Namun, ia masih terlelap bersama mimpi indahnya, mungkin sedang memimpikanku.
Lalu, kukecup pipi kanannya dan kuulangi kata-kataku, "Sayang! Buka matamu, Cinta!" Hmm rupa-rupanya ia masih bergelut dengan mimpinya. Kemudian untuk yang ketiga kalinya, kukecup pipi kirinya sambil kulantunkan bumbu-bumbu mesra tadi, "Sayangku, Istriku tercinta. Ayo, buka matamu!" Barulah ia terbangun dan kata pertama yang ia ucapkan adalah, "Astaghfirulloh. Maafkan aku suamiku, aku terlalu lelah dan letih hingga aku lalai."
Kubelai wajahnya, lalu kukecup keningnya sekali lagi, "Baca doa dulu, Cinta." Ia pun melantunkan doanya. Subhanallah.
"Yuk, sayang!" ajakku untuk bersuci. Beginilah caraku membangunkan istriku. Dengan kelembutan dan kemesraan, bukan dengan kekerasan dan paksaan.
Kami pun bergandeng tangan menuju kamar mandi. Kami bersuci dari hadas besar dan kecil. Lalu kami sholat qiamul lail, dilanjutkan dengan witir dan tilawah Quran sampai kami tertidur dalam pelukan. Subahanallah indah dan romantisnya. :D

Indah sekali cerita ini, romantis. Suami-istri yang bercinta dalam maghfiroh dan RidhoNya. Menjalankan Al-Quran dan As-sunah, saling mengajak ketaatan padaNya. Sungguh luar biasa.

DOAKU

Subhanallah, ya Allah.
Karuniakanlah padaku imam yang sholeh, yang hatinya selalu tertambat padaMu
yang senantiasa menyeru mengajak menuju hidayahMu
yang tak pernah bosan menebar kebaikan atas niat memperoleh ridhoMu
Ya Allah, karuniakanlah suami yang taat, tunduk, patuh pada perintahMu dan suami yang selalu menghindar dan menjauhi laranganMu
Karuniakanlah suami yang romantis seperti Rasulullah. Dan jadikanlah hamba seperti Bunda Khadijah, Aisyah atau Fatimah yang sholihah, senantiasa membantu suaminya di jalan dakwah.
Hindarkan kami dari bid'ah dan fitnah ya Robby. Aamiin


PENDAPAT

Hmm...KTT buanget yach? Khayalan Tingkat Tinggi maksudnya.
Tapi,,,semua itu mungkin kok, asal kita mau melakukan perbaikan tdiri niat hanya karena Allah semata.
Bismillah.
:D
^_^
;)

21 Maret 2012, 1/3 malam terakhir.

0 comments
Labels:

KISAH SEORANG WANITA PENDERITA EPILEPSI MENYADARKANKU TENTANG MAKNA KESABARAN

Ibnu Abbas berkata kepada muridnya, "Maukah aku tunjuki wanita ahli surga? Dia adalah wanita yang datang pada Rasulullah tentang penyakit epilepsi yang dideritanya, dan mohon kepada Rasulullah untuk mendoakan sembuh darinya. Rasulullah bersabda, 'Kalau kau mau aku doakan engkau, dan engkau sembuh, dan mau engkau sabar dan masuk surga."
Ternyata wanita itu memilih untuk bersabar. Ia mengatakan, "Aku lebih baik sabar, tapi kalau sakitku kambuh dan tidak sadar auratku terbuka, maka doakan agar auratku tidak tersingkap." Rasulullah pun mendoakan agar terjaga auratnya.

Membaca kisah ini hatiku bergetar, seolah menamparku dan menyadarkanku tentang makna kesabaran. Aku ingin menitikkan airmata. Ternyata selama ini aku rapuh, aku banyak mengeluh karena penyakit NS. Astaghfirulloh, aku ingin menjadi wanita tangguh. Tak mudah rapuh dan mengeluh. 
Aku akui aku sangat kagum pada wanita itu. Bersabar. Ya, kesabaran adalah penerimaan dengan ikhlas. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan mengeluh lagi. Aku ingin bersabar, moga kelak Allah menerima kesabaranku.
Aku serahkan semua padaMu ya Allah.
Buatlah hamba lebih bersabar dalam menjalani hidup ini...

0 comments
 
Lautan Tintaku © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters